Mohon tunggu...
Tri Atmoko
Tri Atmoko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Satwa Liar

Pengalaman menelusuri hutan, berbagai pengetahuan alam dan satwa liar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjuangan menuju Pulau Harapan

1 November 2024   13:14 Diperbarui: 1 November 2024   13:16 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pinggir sebuah pemukiman, terdapat sepetak hutan hijau nan rindang yang menjadi rumah bagi sekumpulan bekantan, termasuk aku, ayahku, dan keluarga besar kami. Hidup kami damai dan penuh kebahagiaan. Pohon-pohon besar menjulang dengan dedaunan lebat yang memberi kami makanan melimpah. Kami tumbuh dan hidup bersama, dikelilingi oleh keindahan hutan yang selalu memberi kami rasa aman.

Namun, akhir-akhir ini, kami sering melihat seorang pria berpakaian rapi datang ke tepi hutan. Sayup-sayup, terdengar bisikan tentang rencana mengubah hutan kami menjadi tambak ikan. Kecemasan mulai menyebar di antara kami. Para betina gelisah, dan anak-anak bekantan tak henti menatap ke arah pria itu dengan penuh rasa takut. 

Ayahku, bekantan dewasa pemimpin kelompok kami, mencoba menenangkan kami semua. Dengan penuh keyakinan, ia berkata bahwa kita harus bersiap, apapun yang terjadi.

Keesokan paginya, suara bising dari alat berat menggetarkan hutan kami. Pohon-pohon mulai tumbang, tanah tempat kami berpijak mulai terkoyak. Ayahku dengan sigap mengambil keputusan. "Kita harus menyeberangi sungai menuju pulau di tengah sana. Memang perjalanan ini berbahaya. Arusnya deras, dan buaya-buaya siap mengintai. Tapi hanya di sana kita bisa mendapatkan harapan untuk hidup."

Hari yang ditentukan tiba. Ayahku memberi arahan terakhir, suaranya tegas tapi penuh kasih. Ia menyeberang terlebih dahulu untuk memberi contoh, diikuti para betina dan anak-anak yang digendong erat oleh ibu mereka.

Terakhir, giliran para jantan remaja, termasuk aku. Saat menyeberang, kami merasakan ketegangan luar biasa. Anggota kelompok kami berusaha keras melawan arus. Namun, air sungai yang deras tak selalu berpihak. Beberapa dari kami terseret arus, lenyap tanpa jejak. Ada juga yang disambar oleh buaya.

Di saat genting, ayahku berusaha menyelamatkan ibuku dan adikku yang masih bayi dalam dekapannya. Awalnya seekor buaya supit mendekati ibuku yang berenang besama adiku yang masih bayi. Melihat itu ayahku langsung menghadap buaya tersebut sehingga ibuku bisa lolos sampai ke tepi pulau.

Tapi, nasib berkata lain. Ayahku kini menjadi sasarn buaya lapar itu. Aku melihat ayahku diserang buaya, meskipun sempat membalas dengan taringnya yang tajam namun arus sungai yang deras membuatnya kuwalahan.  

Beberapa detik tubuh ayahku tenggelam perlahan, warna merah semburat di perairan. Ujung ekor ayahku pelan menghilang di permukaan Sungai dan itu menjadi kali terakhir aku melihat ayahku. Hatiku hancur seketika, tapi kami harus terus berjuang, dengan seluruh tenaga yang tersisa terus kuberenang hingga tepi pulau.

Ketika akhirnya kami mencapai pulau, kami hanya tersisa enam, aku, ibuku, adikku yang masih bayi, dua bibiku, dan saudaraku, Joe. Kehilangan ayah dan beberapa anggota keluarga lainnya sungguh menyedihkan, namun ibu selalu menguatkan hatiku. "Kita memang sudah kehilangan banyak, tapi ingatlah bahwa kita masih memiliki masa depan di pulau ini. Kamu adalah pemimpin sekarang. Lanjutkan perjuangan ayahmu."

Kini, sebagai pemimpin baru, aku berjanji untuk menjaga kelompok kecil kami di pulau ini, meneruskan perjuangan dan mewarisi semangat dan keberanian ayahku. Kami akan bertahan, mencari kehidupan yang lebih baik di tengah harapan yang masih ada, meskipun penuh tantangan di depan. Pulau ini akan menjadi rumah baru kami, dan di sinilah kami akan memulai lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun