"Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo"
Pagi yang cerah, saat mengantar anak ke sekolah. Bait-bait lagu Dewa 19 mengalun lembut dari speaker mobil. Anganku kembali ter-refresh ke 23 tahun yang lalu. Untuk pertama kali menggapai puncak tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Pendakian wajib Mapalipma Angkatan anoa gunung (Bubalus quarlesi).
Perjalanan melalui jalur pendakian resmi yang paling umum dari Ranupani serasa sangat berat. Bakan hanya dari beban dalam karier 60 liter yang dibawa di punggung namun juga beban mental dari senior yang membimbing dalam pendakian.
Seharian perjalanan hingga menjelang senja mengantarkan sampai di Ranu Kumbolo, danau indah yang tak tergambarkan. Menghapus peluh dan lelah seharian. Mata-mata sama-sama berbinar memandang danau biru di depan mereka. Tempat yang memberi kedamaian, jauh dari hiruk pikuk kehidupan dunia. Bermalam dibawah tenda dome buntut di sana serasa lebih indah dibandingkan tidur di atas springbed hotel bintang lima.
Udara dingin menusuk-nusuk kulit, meskipun sudan berbalur jacket gore-tex tebal. Serasa malas keluar dari sleeping bag, apalagi mebuka resleting tenda dome. Namun perjalanan masih panjang...Â
Menjelang pagi, pendakian segera dilanjutkan. Di depan kami ada tanjakan yang cukup panjang, "tanjakan cinta". Senior memberi instruksi, selama mendaki tanjangan tersebut ada dua syarat, Pertama, tidak boleh menoleh ke belakang selama meniti tanjakan dan yang kedua tidak boleh berhenti walaupun sejenak hingga di ujung tanjakan.
Jika berhasil sampai ujung tanpa berhenti, semua harapan, cita-cita, dan cinta kalian akan tercapai. Itula mitos tentang tanjakan cinta. Namun lebih dari itu, semuanya adalah pendorong semangat untuk tidak mudah menyerah dalam menggapai cita-cita. Di sisi lain itu adalah pelecut semangat dalam perjalanan pendakian.
Syarat pertama untuk tidak menoleh ke belakang tidak masalah bagi kami. Namun untuk syarat kedua untuk tidan berhenti hingga ujung tanjakan, adalah hal yang sangat berat. Beban di punggung kami sangat menguras energi untuk memindahnya setiap jejak langkah ke beda ketinggian. Kelerengan sekitar 45 derajat tanpa "bonus" (jalan datar) membuat nafas dan detak jantung bekerja lebih keras.
Tak satupun dari kami yang sanggup memenuhi syarat ke dua. Namun demikian bukan artinya kami gagal mengapai cita-cita, kami tetap optimis menghadapi yang ada di depan dan masa depan. Meskipun kami semua tidak lolos di tanjakan cinta, namun mampu mencumbui kubah pasir mahameru yang melegenda.
Beberapa tahun kemudian untuk yang kedua meniti tanjakan cinta, dengan misi yang berbeda. Saat itu tergabung dengan tim SAR pendaki yang hilang. Akhirnya 2002 akhir adalah pendakian ketiga memeras peluh di tanjakan cinta. Saat riset S-1 tentang macan tutul di Gunung Semeru, dan itu kenangan terakhir sebelum merantau ke Borneo. Apakan cinta "tanjakan cinta" akan memanggilku kembali untuk mencumbuinya?
"Yah... yah... sudah sampai sekolah, salim... Assalamualaikum" Eh... Tak terasa sudah sampai di sekolah anakku.Â
"Walaikumsalam, sekolah yang pinter ya Nak..."
Setelah memutar balik, bait terakhir lagu Dewa 19 masih mengalun. Sesaat setelah itu, sepontan jari telunjuk kiriku menekan tombol "replay" untuk mengulang lagi.
"Mahameru berikan damainya
Di dalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H