"Mahameru berikan damainya
Di dalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa"
Lirik lagi Dewa 19 di atas memberikan gambaran begitu memesonanya mahameru. Mahameru atau Semeru adalah nama sebuah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Nampak pencipta lagu itu, Ahmad Dani Prasetyo, sangat menghayati saat dia mendaki menuju ketinggian 3.676 mdpl. Hal itu tercermin dari aura suasana yang tercipta dari setiap kata yang muncul saat menciptakan lagu tersebut. Ya... semuanya terwakili dengan elok...
Mahameru adalah salah satu obsesi bagi semua penggiat alam bebas. Seolah mereka belum layak disebut pendaki gunung jika belum menghidup udara dingin titik kulminasi Pulau Jawa itu.
Sekali mendaki Semeru, seakan tidak bosan-bosannya keinginan untuk mendaki gunung ini untuk yang kedua dan seterusnya. Tiga kali penulis menapaki jalur pendakiannya, dan ketiganya memberikan kesan yang berbeda-beda.Â
Kali pertama penulis lakukan saat pendakian wajib pencinta alam MAPALIPMA angkatan anoa gunung (Bubalus quarlesi) dua puluh tahun lalu. Saat itulan penulis bisa merasakan berendam dan dinginnya air Ranu Kumbolo saat dini hari.Â
Pertama kali merangkak dan tertatih mendaki kubah pasirnya yang volumenya lebih dari jutaan meter kubik. Tiga kali langkah, dua langkah melorot ke bawah. Tapi semuanya terbayar lunas saat merasakan sekitar 130 juta penduduk Pulau Jawa berada di bawah kita.Â
Nan jauh di sana batas laut utara, laut selatan ditampakkan dengan jelas dan ujung timur pulau Jawa terlihat samar-samar. Saat itulah kita merasa sangat kecil dan betapa luar biasa ciptaan Allah Maha Besar.
Pada pendakian kedua tergabung dalam misi kemanusiaan, operasi SAR pencarian pendaki yang tersesat. Saat mendaki Semeru hal yang sangat riskan menyebabkan tersesat adalah perjalanan saat menuruni kubah pasirnya. Kubah pasir memiliki alur-alur yang berukuran sepematang sawah di daerah puncaknya dan semakin membesar hingga setinggi rumah di bagian bawah. Saat pendaki salah memilih alur untuk menuruni kubah pasir maka semakin ke bawah akan semakin menjauh dan terjebak di antara tebing alur yang dalam.
Pendaki yang berpengalaman mendaki Semeru biasanya menggunakan pohon "cemoro tunggal" sebagai acuan lokasi alur di jalur pendakian yang benar. Pohon cemara tersebut tumbuh di batas tertinggi areal berhutan berbatasan dengan kubah pasir. Ada juga yang menyebutnya "cemoro nekad" karena masih nekat tumbuh sendirian manakala pohon lain gak sanggup hidup.
Pendakian terakhir dilakukan penulis saat melakukan riset macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Salah satu sub jenis macan tutul di dunia yang banyak mengalami melanisme sehingga berwarna menjadi hitam. Satwa karnivora yang sangat adaptif pada berbagai habitat, mulai dari ketinggian 0 mdpl hingga lebih dari 2.500 mdpl di Gunung Semeru.
Penulis banyak menemukan jejak macan tutul betebaran di daerah Kali Mati yang berada di bagian bawah kubah pasir Mahameru. Tak jauh dari Kali Mati ada namanya Sumber Mani, yang merupakan sumber air terakhir yang bisa diambil oleh para pendaki sebelum summit attack. Ternyata bukan hanya para pendaki yang mengambil minum di lokasi ini, satwa liar pun juga minum dari sumber ini termasuk macan tutul.
Gunung Semeru bukan hanya menyajikan cerita keindahan, petualangan, ujian fisik dan mental, dan ilmu pengetahuan tapi juga memberikan cerita pengalaman mistis. Semoga dengan pengelolaan yang baik dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menjadikan Mahameru juga menjadi milik anak cucu kita. Mereka juga berhak menikmatinya, tidak hanya mengenalnya dari lagu Dewa 19.
Daannn... harapan bagi generasi mendatang sayup-sayup terdengar di beberapa bait terakhir lagu Dewa 19...
"Masihkah terbersit asa
Anak cucuku mencumbui pasirnya
Di sana nyalimu teruji
Oleh ganas cengkeraman hutan rimba"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H