Terbangun dalam keadaan penuh dan langsung memiliki hasrat untuk menumpahkan sebagian segala kepenuhan. Mandi pagi menjadi opsi terbaik saat cuaca sedang sejuk-sejuknya agar mendapat kesegaran untuk menjalani hari Senin yang bagi sebagian orang adalah musuh bersama. Alih-alih musuh, bagi saya hari Senin adalah hari yang harus dikasihani karena telah menjadi kambing hitam selama bertahun-tahun untuk alasan kemalasan, kemarahan di jalan, dan terpuruknya Manchaster United di Premiere League. Loh bukan, ga-ga, bukan gitu.
Menuju perpustakaan kampus untuk menulis dan tentu saja memilih lantai 6 karena bagi saya tempatnya paling oke dan yoi untuk melihat lingkungan kampus dari ketinggian. Siapa tau bisa mendapat inspirasi.
Dari banyaknya film romantis yang pernah saya tonton, 500 Days of Summer (2009) dan Before Sunrise (1995) adalah yang paling saya harapkan untuk terjadi pada diri saya. Tentu saja kalau membicarakan 500 Days of Summer bukan saat Tom udah baper banget tapi Summer malah pergi dari Tom, melainkan adegan yang menurut saya paling ikonik di film tersebut, yaitu saat Tom dan Summer bertemu di lift.Â
To die by your side is such a heavenly way to die, lalu Summer berkata I love The Smiths, yang dikemudian hari membuat saya mulai mendengarkan dan menyukai lagu-lagu The Smiths.
Sebagai anak rantau yang menjadikan kereta sebagai moda transportasi kalau pulang ke rumah dan balik lagi ke kota rantau, tentu saja sempat terlintas "ko ga pernah kaya di film Before Sunrise ya?", untuk yang udah nonton pasti tau adegan apa yang saya maksud. Bagi yang belom nonton tenang aja diceritain juga ko.Â
Adegan yang dimaksud adalah saat Jesse Wallace dan Celine secara tidak sengaja bertemu di kereta dan menjadi dekat lalu kemudian memutuskan untuk menikmati malam di kota Wina. Bumbu-bumbu romantis dan kisah cinta terjadi selama di kota tersebut. Kira-kira seperti itu, selengkapnya nonton aja sendiri.
Dua adegan film tersebut yang sampai saat ini jika saya naik kereta atau naik lift yang selalu terlintas dan---kalo bisa sih---sepertinya sangat menarik kalau terjadi.Â
Sayangnya beberapa kali naik kereta sendiri, seringnya duduk berdampingan dengan mas-mas atau bapak-bapak yang sangat aktif berbicara hingga harus memakai mode pura-pura tidur sambil mendengarkan lagu, ya There Is a Light That Never Goes Out dari The Smiths. I love The Smiths.
Demi mendapatkan sudut pandang yang menarik dari perpustakaan lantai 6, memutuskan duduk di pinggir jendela yang langsung menghadap lingkungan kampus. Walaupun sebenarnya agak kurang nyaman duduk di sini, tapi tidak apa, demi pemandangan. Ini juga kali pertama ke perpustakaan setelah hampir 2 tahun tidak membuka pelayanan karena pandemi.Â
Memasuki perpustakaan seperti memasuki lorong waktu yang membawa ingatan saya ke 5 tahun yang lalu, mahasiswa dengan segala tugasnya, mahasiswa dengan segala kelompok/sirkel/gengnya, dan mahasiswa dengan segala kekacauan sekaligus kebebasannya.
Rasanya selain film yang sudah disebutkan di atas, saat waktunya harus meninggalkan kampus ini saya ingin dilepas dengan lagu Rayakan Pemenang milik Morfem. Kalau biasanya anak teknik arak-arakan dari fakultasnya sambil menyuarakan yel-yel dan jargon, saya ingin sepanjang perjalanan menuju rektorat diputarkan Rayakan Pemenang.
Esok dirimu kan terbang
Memeluk mimpi yang akhirnya kesampaian
Esok dirimu kan terbang
Tak habis pikir kami melepas pemenang
Cuaca cukup mendung hari ini tidak seperti hari sebelumnya yang panas dan terik, dan teringat jemuran yang sepertinya akan mengalami keterlambatan kering.Â
Dengan cuaca yang terik, jika menjemur dari pagi, sore menjelang magrib jemuran sudah bisa diangkat. Namun dengan cuaca yang minim cahaya matahari seperti hari ini, rasanya baru besok siang atau sore pakaian mencapai titik kering yang sempurna. Untungnya tempat jemuran di kos saya memiliki atap yang kalau hujan pun tidak perlu khawatir akan kebasahan dan mengulang proses pengeringan dari awal.
Bagi saya pribadi, mencunci pakaian adalah kegiatan yang menyenangkan, selain mengurangi tumpukan pakaian kotor, mencunci pakaian juga saya anggap sebagai olahraga. Karena saat dan setelah mencuci, keringat akan deras mengucur dari pori-pori kulit, sehat.Â
Jangan bayangkan  mencuci dengan mesin, kegiatan mencuci yang saya lakukan masih menggunakan tangan untuk menyikat dan mengucek. Prosesi yang paling saya suka dari mencuci pakaian adalah saat menjemurnya; kibasan pakaian yang masih basah, tetesan-tetesan air dari pakaian yang tergantung, dan menyusun jemuran agar tidak saling menempel, bisa dibilang kegiatan untuk melepas stress.
Memilih untuk nyuci sendiri ketimbang laundry adalah sebagian usaha dari menghemat uang bulanan. Dibandingkan dengan laundry, nyuci sendiri jelas biayanya lebih minim. Sebut saja sekali laundry untuk kapasitas pakaian kotor selama satu minggu bisa dikenakan biaya 15 sampai 20 ribu, sedangkan kalau mencuci pakaian sendiri, dengan membeli detergen saset seharga 2.000 bisa digunakan tiga sampai empat kali mencuci.
Dari bangun tidur, membicarakan film, hingga nyuci baju, tidak ada benang merahnya. Memang dari awal tidak ada alur atau konsep yang saya buat, hanya menulis tentang hari ini dan apa yang saya pikirkan semalam.Â
Berhubung semalam sudah posisi siap tidur dan males buka laptop, yaudah jadinya ditulis siang ini dengan malas dan asal-asalan. Mengutip sajak dari Chairil yang juga tidak nyambung dengan tulisan ini, "Mampus kau dikoyak-koyak sepi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H