Mohon tunggu...
Trias Aji Mulyana
Trias Aji Mulyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Belum Kawin

(sementara) hanya menulis yang diketahui dan disukainya saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kopi sebagai Budaya Pop dan Media Perlawanan

10 Mei 2022   21:16 Diperbarui: 10 Mei 2022   21:27 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ngobrol di warung kopi
nyentil sana dan sini
sekedar suara rakyat kecil
bukannya malah usil

Penggalan lirik dari lagu yang dipopulerkan oleh grup lawak Warkop DKI tersebut menggambarkan budaya nongkrong dan minum kopi masyarakat Indonesia. Kebiasaan minum kopi ini tak hanya dilakukan di rumah saja, namun kerap bergeser ke tempat lain seperti warung kopi bahkan kedai-kedai kopi modern yang biasa di sebut coffee shop.

Tarik mundur 5 tahun ke belakang, ada berapa kedai kopi atau coffee shop di daerah rumah kalian? Satu? Dua? Atau sepertinya tidak ada? Lalu bandingkan dengan sekarang. Dalam 5 tahun terakhir pertumbuhan kedai kopi meningkat pesat. Melansir dari voi.id, "hasil riset Toffin perusahaan penyedia solusi bisnis berupa barang dan jasa di industri HOREKA (hotel, restoran, dan kafe di Indonesia, menunjukkan jumlah kedai kopi di Indonesia pada Agustus 2019 mencapai lebih dari 2.950 gerai, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2016 yang hanya sekitar 1.000 gerai."

Kalo menurut anabel alias analisa gembel saya sih, tren tersebut ya gara-gara film Filosofi Kopi hehe.

Menengok perkembangan dari fenomena yang sangat menarik ini, dulu minum kopi hanya dengan menyeduh kopi bubuk dengan air panas saja, lalu muncul kebiasaan menikmati kopi sambil bercengkrama di warung kopi. Kini, kebiasaan tersebut telah naik tingkat, dengan menyesap sajian kopi yang diracik oleh barista di coffee shop. 

Sumber: qraved.com
Sumber: qraved.com
Sekarang ini kopi mulai memasuki era gelombang keempat, di mana kopi dianggap layaknya wine dan orang-orang mulai peduli dengan kisah di baliknya. Seperti salah satu adegan di film Ada Apa Dengan Cinta 2, saat Rangga terus-menerus ditanyai dan diajak ngobrol oleh seorang barista mengenai kopi dan cerita di balik kopi tersebut. Tempat tersebut adalah Klinik Kopi. Bagi para pecinta kopi khususnya di Jogja, Klinik Kopi bukanlah tempat yang asing. Memberi kesan intim kepada pelanggan yang datang.

Tidak hanya sebagai tempat ngopi dan nongkrong saja, banyak dari kedai kopi saat ini menawarkan fasilitas working space dengan suasana yang nyaman dan tenang sehingga pelanggan betah berlama-lama di kedai tersebut. Tentu dengan memesan makanan dan minuman ya, tidak hanya numpang tempat. Hehe

Tidak dapat dipungkiri, kedai kopi menjadi tempat bertukar dan menemukan hal baru. Kegemaran minum kopi di kalangan anak muda menjadi budaya pop saat ini.

Jauh lebih sulit untuk menjelaskan apa itu budaya pop ketimbang menjalaninya. Karena budaya pop adalah budaya yang telah kita jalani sehari-hari. Dari musik yang kita dengarkan, acara televisi yang kita tonton, makanan dan minuman yang kita konsumsi, pakaian yang kita kenakan, hingga cara berbicara kita. Itu semua adalah bagian dari budaya pop.

Teringat karya yang dibuat oleh Farid Stevy, "too poor for pop culture". Karena budaya pop adalah budaya yang cepat berubah, belum mengikuti yang ini, sudah muncul yang itu, banyak yang memilih untuk tidak mengikuti budaya pop tersebut.

Selain kopi sebagai budaya pop di era kiwari, kopi belakangan dijadikan simbol perlawanan. Penolakan rencana pembangunan batu andesit di Desa Wadas, Jawa Tengah, terus bergulir. Hasil bumi Wadas dan karya para seniman jadi media perlawanan nir-kekerasan.

Sumber: walhi-jogja.or.id
Sumber: walhi-jogja.or.id

Pameran yang diberi tajuk Kepada Tanah yang digelar di Kedai Kebun Forum (KKF), Yogyakarta pada tanggal 20-28 Februari ini menampilkan hasil karya dari seniman-seniman yang menuangkan idenya di bungkus kopi. Gambar yang menampilkan tokoh-tokoh pemerintahan adalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang terus melanggengkan penindasan dan perampasan tanah rakyat. Kopi dengan kemasan khusus tersebut dibanderol dengan harga Rp 400.000. Semua hasil penjualan akan didonasikan untuk para warga Wadas yang menentang tambang.

Sumber: Mojok.co
Sumber: Mojok.co

Dalam menentang tambang, warga Wadas melawan dengan pendekatan kultural yakni dengan mengolah hasil bumi hingga pendekatan spiritual. Farid Stevy dalam wawancara bersama Puthut Ea di kanal Youtube mojokdotco mengatakan "kita kan melawan, ya seperti bermain lawan kata saja, kalau mereka merusak ya kita merawat, akan terus merawat".

Bukan tanpa alasan menjadikan kopi sebagai media perlawanan warga Wadas, selain Desa Wadas sebagai penghasil kopi, kopi merupakan produk populer dan tengah berada pada titik puncak di kalangan anak muda, dengan ribuan coffee shop, kopi dapat dijadikan alat untuk membicarakan apa yang sedang terjadi di Wadas untuk publik.

"Kami melawan bukan untuk menang, tapi sebenarnya untuk menyeimbangkan" tutur Farid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun