Jauh lebih sulit untuk menjelaskan apa itu budaya pop ketimbang menjalaninya. Karena budaya pop adalah budaya yang telah kita jalani sehari-hari. Dari musik yang kita dengarkan, acara televisi yang kita tonton, makanan dan minuman yang kita konsumsi, pakaian yang kita kenakan, hingga cara berbicara kita. Itu semua adalah bagian dari budaya pop.
Teringat karya yang dibuat oleh Farid Stevy, "too poor for pop culture". Karena budaya pop adalah budaya yang cepat berubah, belum mengikuti yang ini, sudah muncul yang itu, banyak yang memilih untuk tidak mengikuti budaya pop tersebut.
Selain kopi sebagai budaya pop di era kiwari, kopi belakangan dijadikan simbol perlawanan. Penolakan rencana pembangunan batu andesit di Desa Wadas, Jawa Tengah, terus bergulir. Hasil bumi Wadas dan karya para seniman jadi media perlawanan nir-kekerasan.
Pameran yang diberi tajuk Kepada Tanah yang digelar di Kedai Kebun Forum (KKF), Yogyakarta pada tanggal 20-28 Februari ini menampilkan hasil karya dari seniman-seniman yang menuangkan idenya di bungkus kopi. Gambar yang menampilkan tokoh-tokoh pemerintahan adalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang terus melanggengkan penindasan dan perampasan tanah rakyat. Kopi dengan kemasan khusus tersebut dibanderol dengan harga Rp 400.000. Semua hasil penjualan akan didonasikan untuk para warga Wadas yang menentang tambang.
Dalam menentang tambang, warga Wadas melawan dengan pendekatan kultural yakni dengan mengolah hasil bumi hingga pendekatan spiritual. Farid Stevy dalam wawancara bersama Puthut Ea di kanal Youtube mojokdotco mengatakan "kita kan melawan, ya seperti bermain lawan kata saja, kalau mereka merusak ya kita merawat, akan terus merawat".
Bukan tanpa alasan menjadikan kopi sebagai media perlawanan warga Wadas, selain Desa Wadas sebagai penghasil kopi, kopi merupakan produk populer dan tengah berada pada titik puncak di kalangan anak muda, dengan ribuan coffee shop, kopi dapat dijadikan alat untuk membicarakan apa yang sedang terjadi di Wadas untuk publik.
"Kami melawan bukan untuk menang, tapi sebenarnya untuk menyeimbangkan" tutur Farid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H