Mohon tunggu...
Tria Nurchayati
Tria Nurchayati Mohon Tunggu... -

simplicity

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pesan Nenek: Hidup Itu Manis

22 Oktober 2014   23:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecici panjang pagut, pungkak pelaau
Empuk marah jangan mengut
Ende lemak nginaau

Dalam bahasa Indonesia, syair ini diartikan:

Burung kecici (burung kecil yang banyak berkicau) berparuh panjang,
patah paruhnya
Biar marah jangan cemberut
Kalau cemberut tidak enak dilihatnya

Sontak syair ini membuat kami tersenyum. Indahnya syair ini bila didendangkan seorang gadis desa yang tampak dari sisi jendela kamar, sambil menyisir rambut panjangnya. Bersolek, menanti pujaan hati yang berjanji akan datang berkunjung di sore hari.

Tapi bukan membayangkan pemandangan itu yang membuat kami tersenyum. Takjub, senang, bercampur haru menjadi satu. Sebab syair itu didendangkan seorang nenek yang usianya sudah hampir 100 tahun. Usia itu hanya perkiraan, tak ada yang tahu pasti umur persis nenek dan kapan nenek lahir. Hanya saja, anak pertama nenek saat ini usianya sudah mencapai 80 tahun. Andaikan nenek menikah diusia lima belas tahun saja, usia yang sangat belia pada saat itu, berarti usianya saat ini sudah 95 tahun.

Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, syaris tak ada daging. Urat-urat biru tuanya terlihat jelas, karena kulitnya yang putih bersih. Rambutnya putih, panjang dan jarang bahkan cenderung kusam. Matanya sudah tak bisa melihat sejak lebih dari dua puluh tahun silam. Telinganya sudah tak dapat mendengar dengan baik, bahkan ingatannya pun sudah datang dan pergi semaunya.

Dendang syair itu menyapa kami yang baru datang mengunjunginya di Bengkulu. Syair itu menyapa kami, meski nenek tak mengenal kami, meski nenek tak melihat kami, meski nenek tak ingat lagi dari anaknya yang mana suamiku terlahir.

Dalam kegelapan dan keheningan, nenek hanya ingin kami, keturunannya tetap tersenyum menghadapi hidup yang tak pasti, memikul beban berat, putus asa, kecewa, marah, menghadapi kenyataan yang tak sesuai keinginan, dan kenyataan yang tak sesuai impian dan harapan. Mungkin, senyum itu jualah yang membuat kami, anak, cucu, cicit dan canggahnya (anak dari cicit) masih dapat bersua dengannya.

Syair itu didendangkannya beberapa kali, sambil sesekali nenek meminum susu coklat yang dimasukkan ke dalam botol. Seperti itulah siklus hidup manusia ketika senja, kembali pada masa kanak-kanak, bahkan bayi karena sebagian besar alat pengunyah tidak bisa berfungsi dengan baik.

Sejenak kemudian, suamiku memberinya gula-gula (baca:permen) yang kami bawa dari Jakarta. Berbungkus-bungkus gula-gula, khusus kami bawakan untuk nenek. Jiwa perkasa bersembunyi dibalik tubuhnya yang renta, manisnya gula-gula dinikmatinya tanpa cela. Bagai hidup yang memang selalu manis meski tengah dilanda lara.

“Bagaimana Nek?,” tanya suamiku setengah berteriak. “Lemak’ nian (baca:enak sekali),” ujar nenek, seraya mengulurkan tangan meminta gula-gula berikutnya.

Lama dalam keheningan, menatap wajah sayu penuh ketegaran. Tak menyangka perempuan perkasa ini duduk dihadapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun