Kota adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa sansekrit, India, kotta. Kotta itu sendiri berarti benteng atau masyarakat yang tinggal di dalam benteng tersebut. Istilah kotta sepadan dengan polis dari bahasa Yunani, yaitu kesatuan politis yang ditemukan di dalam satu wilayah yang dikelilingi tembok benteng.
 Istilah kata itu  juga datang dari bahasa sansekrit, katha, yang berarti pidato atau narasi.Â
Dengan demikian, secara ilmu asal-usul istilah, baik kota maupun kata berasal dari bahasa sansekrit. Apa hubungan keduanya?
Jelas, kota sebagai kesatuan politis hanya terjadi berkat kesepakatan. Kesepakatan itu sendiri terungkap salah satunya melalui kata. Kesepakatan yang terjadi  melalui bahasa ini secara padat termuat dalam istilah komunikasi yang akarnya datang dari bahasa Latin: communio, yaitu segala hal yang menciptakan persekutuan dan kebersamaan.Â
Simpulannya: kata atau bahasa yang menjadi unsur utama bagi proses komunikasi punya peran penting bagi terbentuknya sebuah komunitas kota.
Bahasa tidak dibatasi oleh bentuk verbalnya. Ada juga bahasa non verbal yang menyampaikam pesannya bukan secara langsung melalui kalimat tetapi secara tidak langsung misalnya melalui tindak-tanduk dan perialku simbolis.
Jika komunikasi melalui bahasa verbal dan non verbal mengikat individu-individu menjadi satu komunitas kota, diskomunikasi memecahbelah kesatuan itu. Pantas kita bertanya: apakah peristiwa banjir di Jakarta menyatukan warganya melalui komunikasi atau memecah belah mereka gegara diskomunikasi?
Rasanya, fakta banjir awal tahun ini ditandai lebih oleh diskomunikasi daripada komunikasi.
Diskomumikasi yang memecahbelah nampak dari perdebatan verbal baik tentang cara menangani banjir (naturalisasi versus normalisasi), penanggung jawab pencegahan banjir (pemerintah pusat versus pemprov DKI versus pemerintah daerah sekitar DKI) maupun secara non verbal (kunjungan mendadak Jokowi ke mesin pompa Pluit versus kunjungan dan kerja bakti Anies ke lokasi banjir).
Diskomunikasi verbal bagaimanapun terasa paling merusak. Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa daerah Jakarta gegara banjir besar sudah bisa dimasukkan dalam situasi darurat, Gubernur Anies menepis tafsiran itu dengan menyatakan bahwa keadaan DKI sudah bisa ditangani oleh pemprov. Bahkan Anies menambahkan bahwa anak-anak bis bermain di tengah meluapnya air yang membanjiri sebaguan wilayah Ibu Kota.Â
Tiadanya kesatuan kata dalam memaknai banjir awal tahun di Jakarta laksana retakan tembok berbenteng yang dapat meruntuhkan kohesi komunitas kota. Masyarakat akan terbelah membela kubu yang satu melawan kubu yang lain.Â
Jika Anies sungguh peduli pada warga Jakarta, ia harus berani mengakui bahwa daerah-daerah yang aliran sungainya sudah dinormalisasi memang secara objektif kurang terimbas oleh tingginya curah hujan di awal tahun ini. Bukankah Gubernur DKi sudah melihat sendiri bukti itu dari udara bersama Bapak Basuki menteri PUPR?
Sebaliknya, pemerintah pusat jika sungguh ingin membantu pemprov DKI hendaknya mengikuti kepekaan politis dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataannya. Pemprov DKI yang tengah sibuk bekerja pasti sangat peka terhadap statement tentang banjir dan kebijaksanaan mereka. Janganlah keluar pernyataan yang dapat ditafsirkan menyalahkan pihak-pihak tertentu.
Jangan sampai tingginya curah hujan yang merusak bangunan fisik gara-gara banjir juga meretakkan bangunan sosial warga Ibu Kota karena diskomunikasi.
Bumi Batavia, panca hari setelah sobekan terakhir almanak 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H