Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Kota Ditata dengan Kata

5 Januari 2020   18:59 Diperbarui: 5 Januari 2020   20:08 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kota adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa sansekrit, India, kotta. Kotta itu sendiri berarti benteng atau masyarakat yang tinggal di dalam benteng tersebut. Istilah kotta sepadan dengan polis dari bahasa Yunani, yaitu kesatuan politis yang ditemukan di dalam satu wilayah yang dikelilingi tembok benteng.

 Istilah kata itu  juga datang dari bahasa sansekrit, katha, yang berarti pidato atau narasi. 

Dengan demikian, secara ilmu asal-usul istilah, baik kota maupun kata berasal dari bahasa sansekrit. Apa hubungan keduanya?

Jelas, kota sebagai kesatuan politis hanya terjadi berkat kesepakatan. Kesepakatan itu sendiri terungkap salah satunya melalui kata. Kesepakatan yang terjadi  melalui bahasa ini secara padat termuat dalam istilah komunikasi yang akarnya datang dari bahasa Latin: communio, yaitu segala hal yang menciptakan persekutuan dan kebersamaan. 

Simpulannya: kata atau bahasa yang menjadi unsur utama bagi proses komunikasi punya peran penting bagi terbentuknya sebuah komunitas kota.

Bahasa tidak dibatasi oleh bentuk verbalnya. Ada juga bahasa non verbal yang menyampaikam pesannya bukan secara langsung melalui kalimat tetapi secara tidak langsung misalnya melalui tindak-tanduk dan perialku simbolis.

Jika komunikasi melalui bahasa verbal dan non verbal mengikat individu-individu menjadi satu komunitas kota, diskomunikasi memecahbelah kesatuan itu. Pantas kita bertanya: apakah peristiwa banjir di Jakarta menyatukan warganya melalui komunikasi atau memecah belah mereka gegara diskomunikasi?

Rasanya, fakta banjir awal tahun ini ditandai lebih oleh diskomunikasi daripada komunikasi.

Diskomumikasi yang memecahbelah nampak dari perdebatan verbal baik tentang cara menangani banjir (naturalisasi versus normalisasi), penanggung jawab pencegahan banjir (pemerintah pusat versus pemprov DKI versus pemerintah daerah sekitar DKI) maupun secara non verbal (kunjungan mendadak Jokowi ke mesin pompa Pluit versus kunjungan dan kerja bakti Anies ke lokasi banjir).

Diskomunikasi verbal bagaimanapun terasa paling merusak. Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa daerah Jakarta gegara banjir besar sudah bisa dimasukkan dalam situasi darurat, Gubernur Anies menepis tafsiran itu dengan menyatakan bahwa keadaan DKI sudah bisa ditangani oleh pemprov. Bahkan Anies menambahkan bahwa anak-anak bis bermain di tengah meluapnya air yang membanjiri sebaguan wilayah Ibu Kota. 

Tiadanya kesatuan kata dalam memaknai banjir awal tahun di Jakarta laksana retakan tembok berbenteng yang dapat meruntuhkan kohesi komunitas kota. Masyarakat akan terbelah membela kubu yang satu melawan kubu yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun