Salah satu tokoh politik yang sangat sadar pentingnya pencitraan adalah Anies Baswedan. Pencitraan tidak melulu bermakna negatif. Pencitraan adalah proses yang pasti terjadi dalam sebuah relasi antar pribadi. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Untuk dapat berelasi dengan orang lain, kita perlu mengenalnya. Mengenal berarti mengetahui. Salah satu jalan utama pengetahuan adalah melalui gambaran, citra, image. Itu sebabnya, mengapa di KTP atau Passport, tidak cukup dicantumkan sederet tulisan tentang diri kita. Diperlukan juga foto yang tidak lain adalah gambar atau citra kita. Simpulannya, pencitraan adalah proses yang lumrah dalam interaksi sosial.Â
Anies Baswedan sangat sadar akan hal itu. Oleh karena itu, Beliau mencoba tampil konsisten dengan citra diri yang sudah terpancar sejak kiprahnya di panggung sosial-politik. Citra apa itu?Â
Citra seorang pendidik. Sang Anies adalah seorang pendidik. Dia yang menjadi rektor Indonesia termuda pada tahun 2007 (usia 38 tahun waktu itu); dia yang menggelindingkan gerakan Indonesia Mengajar di tahun 2009; dia yang memprakarsai gerakan relawan Turun Tangan di tahun 2014. Dan citra diri ini ditangkap oleh Joko Widodo dengan mengangkat Beliau menjadi Menteri Pendidikan.
Pun ketika terjun ke kancah politik kekuasaan dalam Pilkada DKI, citra diri sebagai seorang pendidik ini terus digulirkan. Pentingnya kata dan bahasa yang dioposisikan dengan semboyan kerja, kerja, kerja menunjukkan dimensi pedagogis itu.Â
Menurut Beliau, bekerja harus dengan akal, dengan smart. Kelurusan akal perlu diasah dengan ketepatan berbahasa. Karena bahasa adalah produk sosial, ketepatan berbahasa juga terkait dengan keterbukaan terhadap partisipasi pihak lainnya. Pentingnya wacana dan keterbukaan atas partisipasi warga, dua hal inilah yang menjadi citra sang Anies, Gubernur DKI Jakarta.
Itu sebabnya, mengapa hingar-bingar Aica Aibon menjadi lebih dari sekedar perkara kelemahan administrasi penganggaran Pemprov DKI. Perkara ini bak gelombang tsunami berpotensi menggoyang citra pendidik yang telah ditanamkan dalam-dalam pada jiwa banyak orang Indonesia umumnya dan warga DKI khususnya. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa, kejanggalan-kejanggalan tadi sebagian besar terjadi pada suku dinas pendidikan, "habitat" citra diri sang Gubernur.
Lebih gawat lagi, prahara Aica Aibon ini tidak saja menggoyang citra pribadi sang Anies tetapi juga menggoncang citra satu lembaga yang sudah sekian lama digambarkan bak institusi "surgawi" tanpa cela, yaitu KPK. Kok bisa?
Bisa, karena di sana ada Baswedan yang lain. Aica Aibon mendekatkan dua lembaga yang dulu nampak tidak berhubungan, yaitu Pemerintah DKI Jakarta dan KPK karena kehadiran duo Baswedan pada masing-masing lembaga. Sekarang orang digiring untuk bertanya, mengapa KPK tidak turun tangan mengurusi kejanggalan-kejanggalan anggaran di Jakarta ini? Apakah karena di sana ada Novel Baswedan yang tidak lain dan tidak bukan sepupu dari sang Gubernur?
Tidak heran, KPK yang sebelum pelantikan Presiden, dicitrakan sebagai korban dan patut dibela dengan demo berjilid-jlid, sekarang tampil layaknya seorang terdakwa karena dinilai enggan mengawasi penganggaran pempr9v DKI Jakarta.Â
Simbol utama pendakwaan KPK adalah Novel Baswedan sendiri: dulu menjadi korban penyiraman air keras sekarang diadukan sebagai tersangka perekayasaan perkara. Mengapa semua bisa terjadi? Karena kekuatan citra, kekuatan gambaran dalam proses mengetahui. Tindakan bersifat manusiawi kalau didasarkan pada kebebasan da  pengetahuan.