Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aibon Perekat Duo Baswedan

7 November 2019   12:00 Diperbarui: 7 November 2019   12:33 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan pengetahuan didapatkan salah satunya melalui citra atau gambaran. Siapakah Anies Baswedan, siapakah Novel Baswedan, siapakah KPK, semuanya tergantung dari citra yang memancar. Sayangnya, Aica Aibon merekatkan ketiganya ke dalam image yang tidak sesuai harapan. Adakah jalan keluar?

Pasti ada. Mari kita pilih pemikiran Plato. Menurut Plato, jiwa manusia itu seperti lilin. Segala hal yang bersentuhan dengan kita (fisik maupun mental) akan memberikan jejaknya di sana. Jejak ini (tupos, semeion) menjadi dasar untuk munculnya citra atau gambaran (eikon, eidolon). Dari gambaran inilah lahir pengetahuan. 

Sebagai contoh: aku tahu kuda karena gambaran kuda muncul dari rekaman (jejak) yang terpatri di jiwaku ketika untuk pertama kalinya aku melihat hewan itu. Pengetahuanku benar kalau gambaran iti sesuai dengan jejak yang terpatri di jiwaku. Pengetahuanku salah kalau gambaranku tidak datang dari jejak di jiwaku.

Dari epistemologi (teori pengetahuan) Plato ini, dapat diambil sebuah langkah praktis. Perkara Aica Aibon tidak akan memberikan gambaran yang benar atas duo Baswedan (dan KPK) jika tidak sesuai dengan track record (rekam jejak) yang jelas-jelas selama ini terbentuk. Citra salah harus dilawan dengan citra benar. Narasi yang salah harus dilawan dengan narasi yang benar.

Maka, sang Anies pendidik tidak akan dapat membenarkan citra dirinya dengan memberikan citra buruk kepada pihak lawan. Ini bukan perkara siapa buruk siapa lebih buruk. Ini perkara menyesuaikan citra yang sekarang terbentuk dengan jejak yang asali.

Sebagai contoh: Emmanuel Macron. Ia terpilih sebagai Presiden Perancis di usia yang sangat muda, 40 tahun. Kebuntuan politik Perancis berhasil diterobosnya melalui partai politik yang ia dirikan, La République en Marche. Ia terpilih karena kesegaran gagasannya yang melampaui dikotomi kiri (sosialis) dan kanan (nasionalis). Rekam jejaknya menunjukkan keinginannya untuk membarui Republik Perancis yang seolah enggan berjalan. 

Citranya sebagai pembaru digugat oleh gerakan masif yang melumpuhkan Paris selama beberapa hari, gerakan rompi kuning (Gilets Jeunes). Inilah puncak dari perlawanan rakyat karena memandang sang Pembaru tidak mau mendengarkan suara mereka. Citra Macron di mata rakyat adalah le président de riches. Apa yang dibuat Macron?

Tidak menyalahkan siapapun. Ia mulai memberikan citra sesungguhnya: seorang presiden yang ingi  membarui Perancis bersama rakyat. Itu seba nya ia mengadakan "blusukan" samb berdialog dengan warga Perancis, mencari solusi atas masalah bersama terutama masalah pengangguran. Hasilnya, Macron tampil sesuai dengan rekam jejaknya. Citra salah tentang dirinya hilang berkat rekam jejak yang dihidupkan kembali melalyi blusukan dan dialog yang dibuatnya.

Jika sang Anies pendidik ingin melawan tsunami Aica Aibon, tampilkan jejak seorang pendidik: gunakan ketajaman wacana, kelurusan berbahasa dan buka seluas-luasnya partisipasi warga tanpa pandang bulu; baik yang dianggap lawan maupum kawan. Itulah citra seorang pendidik.

Saya yakin, sang Anies lebih paham akan hal ini.

Bumi Batavia, Lucy Seven of Nov. '19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun