Pasti dapat dibenarkan, dengan beberapa catatan. Pertama, setiap penafsiran perlu dibatasi. Tanpa pembatasan, penafsiran kehilangan hakikatnya. Analoginya adalah sebuah lukisan. Karya lukis pasti dibatasi oleh bingkai tertentu hingga dapat dinikmati, diberi makna, dengan kata lain ditafsirkan. Demikian juga karya sastra, pasti ada batasnya. Paling tidak, dalam sebuah cerpen, misalnya, ada struktur yang membatasi yaitu pembukaan, konflik dan penutup.Â
Penafsiran atas klaim kemenangan juga perlu dibatasi. Batasnya adalah undang-undang pemilu dan lembaga-lembaga pelaksananya, KPU dan Bawaslu. Melewati batas-batas itu sama dengan menghancurkan bingkai sebuah lukisan atau merobek bagian pembuka dan penutup sebuah karya sastra. Yang tersisa adalah konflik tanpa awal dan akhir, lukisan tanpa titik pandang, chaos dan kekacauan.
Semoga, lukisan indah pesta demokrasi bumi pertiwi tidak harus kehilangan bingkai emas harmoninya; semoga roman pilpres dan pileg 2019 tidak perlu dirobek-robek yang membuat generasi masa depan kehilangan sejarah. Tanpa sejarah, yang ada hanya keraguan. Dan keraguan mencuri harapan.
Saat menanti pemutaran Endgame, Jumat 10 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H