Yang dimaksud dengan semantik di sini adalah ilmu bahasa dengan kalimat sebagai objeknya. Di sini, bahasa dipelajari sebagai sebuah dialektik antara peristiwa dan makna.Â
Semantik berbeda dengan semiotik, yaitu ilmu bahasa yang memiliki tanda sebagai objeknya. Dalam semiotik, bahasa diperlakukan sebagai sebuah sistem tertutup tanpa rujukan pada dunia nyata.
Semantik kemenangan, dengan demikian, adalah upaya memaknai kata kemenangan bukan berdasarkan kamus, tetapi berdasarkan penggunaan istilah itu dalam percakapan. Kamus tidak memberi makna karena sebenarnya yang ada di sana bukanlah kata melainkan tanda. Tanda berubah menjadi kata ketika digunakan dalam percakapan.Â
Peperangan semantik berarti perebutan wilayah penafsiran publik atas kata kemenangan. Berbeda dengan tanda yang merujuk pada tanda lainnya ( misalnya, istilah "sayang" dalam kamus tidak merujuk pada pengalaman menyayangi dan disayangi, tetapi merujuk pada istilah lainnya, seperti "cinta" atau "kasih" ), kata menuntut referensi pada pengalaman di dunia. Referensi inilah yang membuat satu kalimat tidak saja bermakna tetapi juga benar karena mengacu pada kenyataan di dunia.
Maka, peperangan semiotik kata kemenangan berarti perlombaan menciptakan kenyataan.
Dalam kontestasi Pilpres 2019, perebutan wilayah penafsiran atas kata kemenangan dilakukan oleh kubu 01 dan kubu 02.Â
Kubu 01 tidak perlu repot-repot menciptakan kenyataan yang mengisi kata kemenangan yang diklaimnya. Hasil hitung cepat beberapa lembaga sigi dan situng KPU sendiri memberikan isi pada kata kemenangan 01.
Hal yang berbeda terjadi dalam kubu 02. Klaim kemenangannya tidak atau sejauh ini belum menemukan rujukan nyata. Lembaga-lembaga sigi terpercaya dan situng KPU tidak memberikan dasar atas klaim kemenangan bagi kubu 02. Maka, perlu diciptakan rujukan baru agar klaim kemenangan itu bukan sekedar "pepesan kosong". Bagaimana caranya?
Kalau kubu 01 mendasarkan kata kemenangan pada hasil hitung cepat dan situng, kubu 02 melekatkan makna kemenangan pada situasi lain, yaitu kecurangan. Klaimnya dapat dirumuskan demikian,"Kami akan menang kalau pihak lawan tidak curang." Hilangkan istilah curang pada klaim itu, maka kata kemenangan yang dideklarasikan kubu 02 tidak merujuk pada apapun.Â
Itulah perang semantik atas kata kemenangan yang mengharubirukan media sosial dan jalanan Ibu Kota akhir-akhir ini.
Semoga pemaparan di atas dapat menunjukkan bahwa tidak ada klaim kebenaran yang sama sekali bebas dari penafsiran. Setiap klaim atas kemenangan memerlukan rujukan objektif, nyata, dalam dunia. Kalau rujukan tidak ada, perlulah menciptakannya dengan satu dan lain cara. Semuanya dilakukan untuk memenangkan wilayah penafsiran yang semakin luas. Apakah perebutan wilayah penafsiran ini dapat dibenarkan?