Bagi banyak pencinta film amatiran, haram hukumnya duduk di bangku bioskop dan menyaksikan sebuah film tanpa terlebih dahulu mampir dan membaca resensi film yang hendak dinikmati. Situs pertama dan utama yang biasanya dijadikan bahan rujukan adalah IMDB.
Sebenarnya, tidak ada niat menonton kedua film yang judulnya disebut di atas. Film Indonesia yang memikat perhatian saya untuk saat ini hanya satu: Bernafas Dalam Kubur. Tetapi, gegara cuitan @donihendarto dan viralnya perdebatan soal jumlah penonton kedua film tadi, ke-kepo-an saya pun terusik.
Sebelum menyaksikan sendiri kedua film itu, meluncurlah saya ke situs IMDB. Hasil sementara yang saya dapatkan adalah ini:Â
Tampak bahwa film A Man Called Ahok mendapat nilai 8.8/10 dari 688 orang.Â
Lalu saya pun mencari tahu rating film Hanum dan Rangga. Ini yang saya dapatkan:
Kalau sekedar membaca rating, jelas saya lebih memilih nonton film biopik tentang sepak terjang Ahok. Tetapi, netralkah rating itu? Atau adakah unsur-unsur non-cinematis yang memengaruhi pemberian rating atas masing-masing film itu?
Untuk mendapat jawabannya, saya klik bagian resensi pengguna (user reviews) untuk film Hanum dan Rangga. Benar dugaan saya. Resensi yang muncul di sana kebanyakn dikaitkan bukan pertama-tama pada filmnya sebagai sebuah hasil karya seni tetapi pada pribadi Hanum Salsabiela Rais sebagai penulis.Â
Sebuah resensi, misalnya lebih mengaitkan pribadi Hanum dengan kasus hoax Ratna Sarumpaet tanpa setitik pun membahas alur maupun akting para aktor/aktris filmnya. Satu-satunya resensi terpercaya ada pada laman resensi kritikus (critic review) yang ditulis Arya Pratama Putra. Lepas dari positif dan negatifnya, resensi Arya sungguh-sungguh terfokus pada bangunan  filmnya dan sama sekali tidak menyentuh kegaduhan politik di luar film itu sendiri.
Kalau membaca resensi film A Man Called Ahok, akan ditemukan banyak komentar positif. Berlawanan dengan komentar atas film Hanum dan Rangga, komentar-komentar untuk film Ahok ini membahas inti film itu sendiri. Dikatakan bahwa film biopik tentang sepak terjang Ahok ini bukan film politik tetapi film keluarga.Â
Pertanyaan baru muncul: apakah penulis komentar film Hanum dan Rangga sungguh-sungguh sudah menonton filmya atau lebih sekedar ingin menjatuhkan film itu tanpa menontonnya dan karena alasan-alasan di luar cinematografi?Â
 Kalau alasan yang terakhir yang dipilih, patut disayangkan. Mengapa?Â
Pertama, karena orang datang ke situs IMDB untuk mengetahui kesan penonton atas sebuah film dan itu membantu banyak calon penonton. Bagaiman calon penonton dapat terbantu kalau yang ditulis bukanlah perihal filmnya tetapi hal-hal lain di luar karya seni itu sendiri?
Kedua, mestinya, menikmati sebuah karya seni adalah kesempatan mengambil jarak dari rutinitas sehari-hari, yaitu untuk menyadari pertanyaan-pertanyaan hakiki seperti dari mana aku datang, ke mana aku pergi, sudah benarkah jalan yang kutempuh, dan seterusnya. Kalau melihat trailernya, kedua film ini sebenarnya mau menawarkan permenungan atas pertanyaan-pertanyaan tadi.
Sayangnya, kegaduhan politik mengaburkan misi yang mau dibawa kedua buah karya seni ini. Alih-alih menjadi oase batin, keduanya sekarang dikaitkan dengan kontestasi pilpres dan pileg. Tidak cukupkah membawa tempe, emak-emak, pasar, jenis tunggangan sampai nama setan ke atas panggung politik? Mengapa sekarang, ruang bioskop pun dikooptasi menjadi ring tinju politik?
Kalau ruang batinpun diperebutkan, ke mana lagi kita cari alasan yang dapat menyatukan?
Bumi Batavia, senin subuh... di kala mata tak mau terpejam karena Atalanta membantai Inter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H