Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Melampaui Polemik Pribumi

18 Oktober 2017   11:39 Diperbarui: 18 Oktober 2017   11:55 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan semuanya. Satu-satunya pelaku utama perjuangan itu adalah KITA:

Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan.

Kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme.

Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini.

Tidak satupun nama pejuang dan Bapa-bapa Bangsa disebut. Hanya satu nama, Muhammad Husni Thamrin. Tetapi tidak Sukarno, tidak Hatta, apalagi Syahrir. Dengan kata lain, dengan pola seperti ini ada kesan bang Anies hendak mengacaukan dimensi waktu: kita yang bekerja keras merebut kemerdekaan... sungguhkah kita? Saya tidak ikut berjuang merebut kemerdekaan. Itu perjuangan para pendahulu saya. Saya dan kita semua adalah ahli waris. Mengapa bukan kita? Alasannya sederhana: entah waktu masa perjuangan dulu tidak ada satupun dari kita yang lahir atau kita sudah lahir tetapi masih sangat kecil. Jangankan mengusir kolonialisme, mandi sendiri saja mungkin kita waktu itu masih belum mampu.

Tetapi apakah orang sekaliber Anies tidak paham akan perbedaan waktu seperti itu? Perbedaan generasi antara generai 45 dan generasi milenial? Tentu tidak. Dia sadar sepenuh-penuhnya. Tampaknya, justru itu yang hendak disasar.

Dengan mengacaukan dimensi waktu, para pendengar diajak masuk ke suasana revolusi fisik dulu di mana yang serba asing adalah musuh bersama, adalah kolonial, dan harus diusir. Cakrawala perjuangan dipersempit menjadi mengusir penjajah/kolonialisme. Perjuangan tidak lagi berarti melawan musuh-musuh nyata semacam korupsi dan kebodohan. Tidak heran, dalam konteks seperti itu, pemakaian istilah Pribumi menambah parah kekacauan sejarah dalam pidato pertama sang Gubernur. Kalau mau disebut konteks kolonial, mengapa pelaku sejarahnya adalah kita-kita yang hidup di jaman milenial: kita yang.... merebut kemerdekaan; kita yang... mengusir kolonialisme...

Penutup

Simpulannya, pidato pertama kali lalu, mengutip pendapat seorang pakar politik, adalah pidato yang sangat lihai dan disusun begitu rapi. Sasarannya bukan sekedar orang Jakarta tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan pidato kerja seorang Gubernur tetapi pidato politik seseorang yang siap bertarung di ajang Pilpres dua tahun ke depan.

Simpulan berikutnya, meskipun ada banyak kata persatuan di sana-sini, namun dalam bagian paling penting, yaitu sejarah berdirinya bangsa dan negeri ini, pesan persatuan itu gagal disampaikan. Penyebabnya: rusaknya dimensi waktu, hilangnya jarak antara tahun-tahun revolusi fisik dan kekinian. Lenyapnya jarak itu dimotori oleh penggunaan subjek yang lintas sejarah: kita. Tidak heran, istilah pribumi yang dipakai pun membawa pesan permusuhan atas yang berbeda. Ada pribumi (Kita: siapakah kita?) dan ada non-pribumi (yang serba asing, kolonial: siapakah mereka?).

Untuk menutup tulisan ini, saya mengutip tulisan Plato dalam buku filsafat politiknya, Republik: "But I don't think we shall quarrel about a word - the subject of our inquiry is too important for that."  Kita tidak sedang bertengkar tentang makna sebuah kata, bang Anies. Perjuangan kita jauh lebih penting dari kata Pribumi atau non-Pribumi: yaitu bangsa Indonesia yang dapat memberikan kesaksian kepada dunia bahwa hidup dalam perbedaan itu mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun