Tersebutlah Lydia (Erin Moriarty), gadis belia berusia 16 tahun. Kesalahan demi kesalahan yang ia buat membentuk jejaring rantai yang menjerat hidupnya yang masih muda. Kesalahan pertama: lari dari kehidupan mapan ibu dan ayah tirinya. Kesalahan kedua: membiarkan diri jatuh cinta pada Jonah (Diego Luna), seorang anggota kartel narkoba Mexico yang mengaku pengusaha real-estate. Kesalahan ketiga: demi membuktikan cintanya pada Jonah, Lydia bersedia menjadi penjaga rumah Jonah yang sebenarnya berfungsi sebagai gudang penyimpanan uang dan narkoba kelompok kartel. Kesalahan keempat dan yang paling fatal: Lydia ikut ambil bagian dalam penggebrakan bersenjata atas sebuah keluarga yang dituduh mencuri uang dari rumah penyimpanan. Di sinilah, tanpa sengaja, Lydia menembak Jonah. Kisah pelarian Lydia, yang menjadi struktur utama film Blood Father, dimulai.
Secara cerdik, duo penulis skenario Blood Father, Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mocking Jay 1) dan Andrea Berloff (Outta Compton dan World Trade Center) merajut kisah pelarian Lydia dengan upaya Link (Mel Gibson) membangun hidup baru. Berbeda 180 derajat dengan Lydia yang semakin lama semakin terjerumus dalam kesalahan yang lebih parah, Link, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah kandung Lydia, sedang berusaha melepaskan diri dari kesalahan demi kesalahan yang ia buat di masa lalu. Ia sudah satu tahun tidak menegak minuman keras. Ia baru saja diberi kebebasan bersyarat setelah 9 tahun mendekam di penjara. Ia telah bercerai dengan istrinya. Dan kesalahan terberat yang paling ia sesali: ia tidak membesarkan secara layak Lydia, putri kandungnya semata wayang.
Perjumpaan dua narasi yang bertentangan inilah yang menjadi kekuatan utama bangunan kisah film Blood Father. Ketika Link berupaya lepas dari jeratan masa lalunya, Lydia datang membawa akibat dari kesalahan yang baru dibuatnya. Menerima dan membantu Lydia berarti berhadapan dengan kekuatan gerombolan manusia bengis dari kartel Mexico. Artinya, Link harus membiarkan diri disedot oleh kehidupan masa lalunya: ia harus menggunakan kembali keahliannya sebagai seorang kriminal; ia terpaksa berhubungan lagi dengan koneksi-koneksinya di masa-masa suramnya yang dulu, mulai dari kelompok White Power pimpinan the Preacher (Micahel Parks) sampai the big bos hispanik, Rios (Miguel Sandoval), yang meraja di balik jeruji besi. Dengan demikian, setelah menghirup udara bebas selama lebih kurang setahun, Link mesti melanggar kebebasan bersyaratnya demi menyelamatkan sang putri.
Jalan tengah bukannya tidak ada: Kirby (William H. Macy), pendamping Link untuk masalah kecanduan minuman keras, menyarankan Link untuk menyerahkan masalah tersebut pada pihak berwajib. Saran yang ditolak mentah-mentah oleh Link.
Tema yang diusung Blood Father tentu bukan barang baru. Pertanyaan dasar, apakah manusia dapat terbebas dari kesalahan masa lalunya, sudah menghantui spesies homo sapiens sejak lama. Jika kita mengakui bahwa manusia adalah mahluk yang tidak lepas dari kesalahan dan, seperti yang dikatakan Pramoedya, manusia adalah hewan yang senantiasa membutuhkan pengampunan, maka berbuat salah adalah takdir manusia. Pertanyaan di atas akhirnya dapat dirumuskan secara baru: dapatkah manusia lari dari takdir?Â
Sophocles membungkus pertanyaan tadi dalam kisah Oedipus yang tidak dapat lari dari takdirnya yaitu membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibunya sendiri; Albert Camus mengangkat kembali tragedi Sisipus yang dipaksa mendorong bundaran batu besar ke atas bukit hanya untuk membiarkannya terguling kembali ke bawah untuk didorong kembali. Apakah Blood Father segaris dengan para pengusung determinisme ini?
Sekilas, jawabannya adalah positif. The Preacher mencap Lydia bsebagai keturunan seorang kriminal. Dalam diri Lydia mengalir darah pemberontak dan penjahat. Kalaupun Lydia menolak menjadi penjahat, para kriminal sendiri yang akan datang menghampirinya karena,"Mereka dapat mencium bau darah kaumnya." Link pun mengakui bahwa kecenderungannya menegak minuman keras ia terima dari orang tuanya, bahkan sejak masih di dalam kandungan ibunya. Tetapi, apakah dengan demikian, Blood Father mengibarkan bendera fatalisme?
Tidak. Blood Father lebih mirip dengan kisah Les Misérables karya Victor Hugo. Lydia dan Link adalah orang-orang malang (les misérables). Tetapi, kemalangan itu bukanlah nasib sebab ada sesuatu yang lebih besar dari kemalangan, yaitu kehidupan. Dialog di tengah film adalah inti dari film yang menandai kembalinya sang aktor utama tetralogi Lethal Weapon ini.
Ketika Lydia mengatakan bahwa sudah sejak usia 10 tahun ia hendak bunuh diri, sang ayah menanggapi dengan pengalaman yang sama. Ia meminta Lydia meraba bagian atas kepalanya. Di sana, Lydia merasakan adanya kepingan logam. Link pun berkisah, dulu waktu masih kecil, ia bersepeda dengan kecepatan tinggi dan terjungkal begitu parahnya sampai kepingan logam itu menancap secara permanen di kepalanya. Yang tidak diketahui banyak orang adalah, ia sengaja melakukan itu semua. Jadi, pesan Link, "Kalau hari ini engkau tidak ingin melihat hari esok, engkau toh tetap bersyukur ketika akhirnya masih bisa menyaksikan munculnya hari baru. Karena, keinginan untuk hidup jauh lebih besar dari keputusasaan."
 Seperti halnya Jean Val Jean yang akhirnya dapat bebas dari masa lalunya sebagai narapidana dan memberi kehidupan yang cerah pada bunga-bunga muda, demikianlah Link menyerahkan seluruh hidupnya bagi Lydia. Jean-François Richet, sang sutradara, berhasil mengundang sidang penonton untuk merenungkan relasi antara kesalahan yang tak terelakkan dan panggilan untuk meneruskan kehidupan berkat kepercayaan bahwa kehidupan jauh lebih besar dari semua kesalahan yang pernah dibuat.
Tema klasik tadi berhasil diusung secara alami berkat kelihaian duo penulis skenario dan juga kekuatan akting para pemerannya. Dalam Blood Father, Mel Gibson kembali menampilkan kekuatan seni perannya. Ia berhasil mengawinkan tokoh Riggs, seorang polisi berangasan dalam Lethal Weapon, dengan Jean Val Jean, seorang pelarian sekaligus ayah yang penuh perhatian dalam Les Misérables.  Erin Moriarty pun tampil begitu percaya diri, berevolusi tanpa kesulitan dari anak manja menjadi anak yang siap berkorban demi sang ayah. Micahel Parks (Kill Bill 1&2), William Macy (Fargo) juga Miguel Sandoval (Jurassic Park) berhasil membawa peran masing-masing secara mempesona.