Hujan deras menambah pekatnya malam. Remang lampu merkuri pinggir jalan mempersembahkan pada dunia sepotong halte. Â Seorang perempuan duduk sendiri di sana. Di tengah malam. Di bangku halte. Berlindung dari derasnya hujan. Dari suramnya malam.Â
Rambut hitamnya dibiarkannya tergerai sampai ke pinggang. Lebat dan hitamnya rambut menyembunyikan lehernya yang putih menjenjang. Wajahnya berpaling ke Timur, seolah menanti sesuatu menyeruak dari balik tirai malam. Namun, hanya gemerutuk hujan dan kelam malam yang menjawab kerinduannya. Dan, perempuan itu terus duduk terpaku di sana. Sendiri.
***
Haruskah kudekati perempuan ini? Begitu hatinya meragu. Setelah seminggu menghabiskan malam-malamnya di halte ini, baru di malam berderai hujan ini ia menjumpai seorang perempuan duduk seorang diri.
Mengapa perempuan dengan tubuh semampai dengan rambut hitam tergurai berada sendirian di tengah malam seperti ini? Siapa dia? Lanjut kata hatinya. Kalaupun ia bisa menyapa si perempuan, apa yang akan dikatakannya? Bahan pembicaraan macam apa yang bisa digalinya?
Ia sadar, menurut kategori kepribadian, ia tergolong pribadi introvert. Tetapi, rasanya aneh kalau di tengah malam, di bawah guyuran hujan, ada dua pribadi yang tidak saling bertegur sapa padahal berada di tempat yang sama. Ada pergumulan di sana: di satu sisi keinginan untuk tetap diam dan membiarkan perempuan itu tenggelam dalam dunianya sendiri dan dorongan untuk bersosialisasi.Â
Apakah menjadi introvert dan penyendiri itu sebuah takdir yang tak bisa dilampui? Tanyanya menggugat diri sendiri. Sebagai laki-laki, ada panggilan yang tidak kenal dikotomi introvert atau ekstrovert. Di sisinya ada perempuan, sendirian, dan tampaknya kesepian. Entah tipe penyendiri atau sosialita, sebagai laki-laki aku harus melindunginya. Tekad kata hatinya.
Namun, di tengah jalan, tekadnya tadi memudar oleh dua tanya. Pertama, bagaimana kalau perempuan ini tidak sudi menanggapi sapanya. Apakah ia akan maju terus seperti prajurit melangkah ke medan perang? Tetapi, amunisi pembicaraan apa yang bisa ditembakkan untuk merobohkan tembok kesunyian perempuan ini? Ia sadar, sebagai laki-laki, ia tidak pandai merangkai gagasan jadi kata, dan kata jadi kalimat, dan kalimat jadi dialog yang menarik. Maka, apa tidak lebih baik mundur sebelum bertempur daripada sudah mencoba tetapi kalah dan hanya menambah malu?
Pertanyaan kedua menyangkut identitas perempuan ini. Siapa dia? Tidakkah sebuah penampakan yang aneh: perempuan, berpostur tubuh menarik, sendirian di tengah malam? Ah, ia teringat akan perempuan lainnya, yang begitu lama mengisi ruang hatinya. Ia kenal perempuan ini di kantornya. Perempuan yang sederhana, menarik, manis dan pandai bergaul. Banyak pria rekan sekantornya berupaya memetik perhatiannya. Tetapi, tampaknya, si perempuan membalas upaya mereka sebatas basa-basi. Sebaliknya, ia merasa perempuan bunga kantornya ini justru berulang kali mengirim tanda-tanda perhatian tulus pada dirinya.
Mulai dari senyum sapa yang tidak pernah absen setiap pagi saat bersua di koridor. Kemudian, titip salam yang disampaikannya lewat teman-teman sekantor untuk dirinya seorang. Belum lagi ucapan selamat ulang tahun yang tiada pernah terlewatkan terucap dari bibirnya sendiri. Puncaknya adalah ajakannya untuk melewati akhir pekan bersama di sebuah kafe di seberang kantor. Hanya mereka berdua.
Bukankah itu semua tanda-tanda tak terbantahkan kalau sang bunga kantor menaruh perhatian padanya?Â