Pertama, struktur pidato Prabowo dan definisi asing:
Siapakah para antek asing tersebut? Untuk mendapat jawabannya, mari kita cermati struktur pidato Prabowo.
Pertama disebutkan: "kalau kau kau hormat sama Prabowo, kalau kau cinta sama Prabowo, kalau kau setia sama Prabowo, bantulah Sandiaga Uno"
Kemudian diserukan:"Yang tidak dukung Sandiaga Uno antek asing, saudara-saudara!"
Simpulannya: "Antek asing adalah mereka yang tidak mendukung Sandiaga Uno. Dan mendukung Sandiaga Uno berarti menghormati, mencintai dan setia pada Prabowo. Maka antek asing adalah mereka yang tidak hormat, tidak cinta dan tidak setia pada Prabowo."
Argumen semacam ini dikenal sebagai argumen berdasarkan otoritas, artinya, kebenarannya datang bukan dari penalaran logis-kritis tetapi berdasarkan karisma dan kuasa pihak yang mengatakannya. Di hadapan argumen semacam ini, kita tidak bisa bertanya, mengapa yang tidak mencintai Prabowo dapat disamakan dengan antek asing. Dia tidak menuntut penjelasan logis. Dia meminta kebenarannya diterima, tanpa tanya. Karena yang berkata itu orang benar, orang berkuasa, orang berkarisma, maka perkataannya pasti benar.
Dari sisi lainnya, argumen ini juga bisa disebut argumen ad hominem, artinya, argumen pribadi lainnya dianggap tidak benar karena dia bukanlah orang yang berkarisma, bukan orang yang punya kuasa. Kita pun tidak bisa bertanya, mengapa mereka yang bersebrangan dengan Prabowo adalah pihak yang salah alias antek asing. Tidak ada alur logis dalam argumen ini. Yang ada adalah otoritas yang hanya bisa diamini.
Dengan demikian, struktur pidato Prabowo tidak menambah informasi apapun mengenai pihak asing yang dimaksud. Pidato itu tidak bisa dibantah ataupun diterima secara nalar. Ia bersandar pada otoritas yang lebih menyangkut pada rasa dan rasa tidak bisa didiskusikan.Â
Walau tidak bisa dibantah maupun disetujui secara logis, argumen semacam ini berbahaya karena menyentuh perasaan atau sentimen. Ada nada fanatisme di sana dan fanatisme itu buta. Maka, patut disayangkan kalau seorang figur sepenting Prabowo lebih memilih cara berargumen yang membakar fanatisme daripada cara kritis yang menambah wawasan.
Kedua, pemahaman relasi asing dan kemerdekaan. Patut dilihat kembali, kemerdekaan Indonesia bukan sekedar bebas dari penjajahan Belanda tetapi bebas untuk membangun dirinya sendiri dan bergabung dengan kemanusiaan semesta. Penjajahan yang dimaksud bukan sekedar yang datang dari luar, tetapi juga yang datang dari dalam. Tanpa yang disebut asing, Indonesia pun tidak bisa merdeka. Ia butuh pengakuan dunia internasional. India dan Australia adalah negara-negara asing pertama yang mengakui RI sebagai sebuah entitas politik yang merdeka. Vatikan bahkan sudah mengakui RI sebagai sebuah negara berdaulat dua tahun sebelum dunia internasional mengakuinya pada tahun 1949. Â Jadi, nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit anti-asing tetapi nasionalisme kemanusiaan universal.
Dunia yang sudah jengah dengan nasionalisme sempit ala Nazi Jerman, fasis itali atau fasis Jepang, mencari sesuatu yang menyatukan segala bangsa, yaitu kemanusiaan universal. Tidak heran, kalau sila kedua Pancasila berbunyi: kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia diletakkan persis setelah sila pertama, Ketuhanan yang maha esa. Artinya, kebangsaan, keindonesiaan, harus diletakkan sebagai perwujudan kemanusiaan yang diciptakan oleh Tuhan yang Esa, yang satu, untuk semua orang.Â