Partai politik atau barisan relawan?Â
Wacana yang bergulir sejak Ahok memutuskan maju sebagai cagub lewat jalur mandiri seolah tidak memberi alternatif selain mempertentangkan jalur independen dan jalur partai politik. Kubu partai politik yang dipawangi PDIP memukul genderang perang lewat isu deparpolisasi dan dekonstruksi partai politik. Di kubu seberang, tim relawan "Teman Ahok" berwacana membebaskan Ahok dari jerat temali kepentingan politik yang dipasang partai-partai politik. Tetapi, benarkah keduanya harus dipertentangkan?Â
Kita bisa menandai kubu partai politik sebagai pengusung ideologi sementara barisan relawan seabagi pengibar panji utopia.Â
Ideologi pada hakikatnya memberi identitas dan kesatuan pada suatu kelompok sosial. Itu sebabnya, misalnya, kita perlu berupacara bendera setiap 17 Agustus karena di sana dihadirkan kembali sejarah berdirinya negara RI. Sejarah berdirinya bangsa dan gambaran heroik para pendiri bangsa mengikat kita sebagi satu keluarga. Itu sebabnya pula mengapa Presiden Jokowi harus menjelaskan mengapa Beliau tidak melantik Budi Gunawan sebagi Kapolri, misalnya.Â
Penjelasan Presiden menjadi legitimasi atas tindakannya. Di sini, ideologi tampil sebagai pembenaran atas suatu tindakan: Budi Gunawan tidak dilantik demi kepentingan rakyat. Diterima atau tidaknya penjelasan tadi oleh rakyat jadi tanda apakah tindakan Presiden membatalkan pelantikan sungguh punya daya atau sekedar pepesan kosong.
Kalau ideologi memberi identitas dan membenarkan tindakan penguasa, utopia mempertanyakan keadaan aktual dan menyodorkan tindakan baru yang entah datang dari mana (utopia: tak terlokalisasi). Gambaran Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka misalnya, adalah sebuah utopia karena mempertanyakan ideologi kolonial yang berlaku saat itu.
Wacana kemerdekaan yang diserukan oleh Sukarno atau bung Tomo, misalnya, adalah seruan yang melahirkan gambaran sosial tentang masyarakat baru yang hendak diwujudkan. Bergeraknya ribuan orang menyambut Presiden Sukarno dari pengasingan dan pertempuran Surabaya adalah tanda efektifnya utopia yang disebarkan para pendiri bangsa. Setelah Indonesia berdiri, gerakan utopis ini bertiwikrama (beralih rupa) menjadi ideologi baru bagi sebuah bangsa yang baru.
Dengan kata lain, ideologi dan utopia adalah sama-sama imaji, gambaran, citra sosial yang mampu menggerakkan suatu masyarakat sebagai satu kesatuan. Masyarakat yang sehat dan rasional demokratis akan menjaga hubungan timbal balik antara ideologi dan utopia.
Utopia diperlukan  sebagai daya kritis yang mendorong masyarakat keluar dari ideologi yang membeku dan kehilangan daya dorongnya. Masyarakat mana yang percaya narasi para anggota DPR tentang perjuangan mereka membela kepentingan rakyat kalau hampir setiap hari media menyuguhkan perjalanan para anggota dewan ke luar negeri, bersalaman dengan pengusaha kaya dan calon pemimpin negara adidaya, punya mobil super mewah, dan seenaknya minta bagian saham di luar wewenangnya? Partai politik mendelegitimasi kekuatan ideologi mereka lewat penyalahgunaan wewenang yang dibuat para kadernya sendiri.
Saat wacana tidak lebih dari rangkaian fonem dan suku kata yang berjejer tanpa isi, utopia menyeruak membongkar mimpi-mimpi, mempertanyakan retorika, menyuguhkan kenyataan sejati: partai politik sedang sakit ideologis dan kehilangan kepercayaan rakyat. Maka para relawan pun bergerak dalam bingkai hukum untuk menghadirkan metode bahkan budaya tandingan: menyokong calon pemimpin secara saweran, tanpa ikatan kepentingan selain  demi mimpi terwujudnya pemerintahan yang amanah dan anti korupsi.
Gerakan relawan sebagai perwujudan utopia tidak bisa bertahan lama. Sudah takdirnya ia akan dilupakan dan beralih rupa dalam tatanan yang lebih stabil, menjadi ideologi yang lebih sehat lagi. Maka, relakah partai politik disehatkan secara ideologis oleh gerakan relawan ini?Â
Ville de Lumière, 10 Maret 2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H