Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pertikaian Mancini vs Sarri dan Tradisi Mafia 'Omerta'

20 Januari 2016   20:59 Diperbarui: 20 Januari 2016   21:16 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pertikaian Mancini dan Sarri di detik-detik terakhir laga Coppa Italia, Napoli vs Intermilan, 19 Januari 2016. Sumber foto: dailymail.co.uk"][/caption]Ada kejadian menarik di menit-menir akhir laga perempat final Coppa Italia antara kesebelasan Napoli dan Intermilan kemarin malam. Seusai gol kedua tim biru-hitam yang dilesakkan pemain asal Serbia, Adem Ljajic, pelatih Inter, Roberto Mancini tampak bersitegang dengan pelatih Napoli, Maurizio Sarri. Entah kata-kata apa yang terlontar dari mulut kedua pelatih kesebelasan papan atas Italia itu. Hanya berkat campur tangan asisten wasit keduanya terhindar dari adegan yang mungkin bisa lebih buruk lagi. Perayaan gol kedua dan sukacita kemenangan tim nerrazzuri di lapangan Napoli tidak jadi tema utama lagi.

Di depan kamera, Mancini menjelaskan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan pelatih Napoli, Sarri." Saya beranjak menghampiri asisten wasit, menanyakan berapa lama waktu yand diberikan untk injury time. Pada saat itulah Sarri melontarkan makian 'frocio' (homo) kepada saya. Tindakan semacam itu tidak pantas untk orang berusia 60 tahun seperti dia dan tidak bisa dibiarkan terjadi dalam persepakbolaan Italia. Saya lebih bangga menjadi seorang homo daripada menjadi manusia semacam dia."

Di lain pihak, Sarri menanggapi tuduhan Mancini dengan sikap mendua: di satu sisi mengakui kesalahannya tetapi di sisi lain meminta Mancini untuk melakukan hal serupa, yaitu meminta maaf. "Saya galau karena keputusan wasit mengkartumerahkan Martens di menit-menit terakhir. Pada saat itu, saya lihat Mancini mendekati asisten wasit dan terlontarlah kata-kata yang seharusnya tidak saya ucapkan.

Saya tidak ingat lagi apa kata-kata yang keluar. Seperti kata orang-orang tua, apa yang terjadi di lapangan hendaknya selesai di lapangan. Saya mengakui telah berbuat salah. Saya juga sudah minta maaf kepada Mancini. Mungkin dengan pikiran yang lebih tenang, besok dia akan menerima ucapan maaf saya. Tetapi, saya juga meminta Mancini mengakui kesalahannya karena, sebagai seorang olah ragawan, dia tidak bersedia menerima permintaan maaf saya."

Keesokan harinya, pertikaian kedua pelatih di pinggir lapangan lebih menyita perhatian khalayak daripada pertarungan para pemain kedua kesebelasan di dalam lapangan. Warga dunia maya pun terseret pada arus pertikaian itu dan terpecah menjadi dua kubu: pro-Mancini dan pro-Sarri. Kelompok pembela Mancini pada intinya membenarkan sikap mantan pilar utama kesebelasan Lazio itu: Mancini dinilai benar dengan mengungkapkan pelanggaran etis yang dibuat koleganya sesama pelatih ke tengah publik. Di sisi lain, pihak pro-Sarri menilai pelatih Intermilan itu kekanak-kanakan: kalau dirinya bukan homo buat apa marah. Lagipula, ungkapan kejengkelan sudah sering terjadi dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Bola panas perdebatan menggelinding lebih cepat dan membesar sampai melibatkan teori konspirasi dan akar budaya Napoli khususnya dan Itali pada umumnya. Teori konspirasi dilontarkan mereka yang berada di belakang Sarri. Menurut mereka, Mancini pintar memanfaatkan kejengkelan Sarri dan mengajukan tuduhan berat untuk menggoncang tim Napoli yang saat ini sedang berdaulat di kancah Liga Itali. Akan tetapi, pihak yang berdiri di belakang Mancini mengajukan sebuah catatan kritis yang melampui ajang pertarungan di lapangan hijau.

Menurut mereka, sudah saatnya masyarakat Itali membongkar tradisi lama berdiam diri: saatnya berani berkata benar sebagai benar dan salah sebagai salah. Jangan menghakimi para penyaksi yang menyatakan kebenaran sebagai pihak tertuduh dan sebaliknya memperlakukan pihak tertuduh yang melakukan kesalahan sebagai pahlawan. Sikap jungkir balik ini berakar pada tradisi mafia, omerta, yang berarti sikap diam di hadapan kejahatan karena takut akan pembalasan. Tradisi omerta lahir dari rasa takut; rasa takut yang dibesarkan oleh ancaman dan dipelihara lewat pembiusan kesadaran; kesadaran yang dininabobokan oleh hiburan tanpa isi dan janji-janji tanpa hari depan; dan masa depan yang dibiarkan kabur tertutup kabut ketidakpastian penegakan hukum. 

Ville de Lumière, Rabu 20 Januari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun