Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Robohnya Opini Kami

17 Februari 2014   23:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terduga. Sebuah artikel yang dilemparkan seorang kompasioner bernama samaran 'Penulis UGM' ke dalam kolam kompasiana ternyata mampu menghasilkan gelombang dasyat yang memaksa seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM untuk meninggalkan posisinya di universitas bumi putra yang pertama itu. Menjadi nyata bahwa kediaman bagi opini yang sehat bukanlah gelar mentereng yang disandang penulisnya. Rumah bagi pemikiran-pemikiran yang mantab harus dibangun di atas pondasi kejujuran, berbatu bata data yang jelas-jeli-akurat, disatupadukan dengan semen keprihatinan sosial, beratapkan argumentasi yang tegas serta berjendelakan wawasan yang luas.

Cukup memprihatinkan bahwa di benak banyak penulis, termasuk para kompasioner (salah satu di antaranya saya sendiri), kolom Opini di harian Kompas seolah ditegakkan di atas gelar-gelar mengkilap berkilauan. Ada yang beranggapan kalau para 'penulis hebat' itu, yang berhasilkan menorehkan namanya di dalam pantheon para penyumbang Opini Kompas, lebih sukses menyampaikan gagasan-gagasan akademis mereka sendiri daripada menjadi perpanjangan batin sidang pembaca pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahasa yang cenderung teknis dengan begitu banyak rujukan bersumberkan bahan-bahan asing tak diragukan lagi memunculkan pemikiran menara gading. Tapi apa gunanya 'memanah rembulan' kalau tak berhasil melihat dan menolong 'burung yang sirna sarangnya?' (kutipan syair lagu Kesaksian).

Maka dapat dipertanyakan, apa sebenarnya visi dan misi kolom Opini harian Kompas? Apakah sekedar untuk meningkatkan gengsi harian terbesar se Asia Tenggara tersebut karena berhasil menarik kaum cendikiawan profesor insinyur doktor untuk berlomba-lomba menghidangkan gagasan-gagasannya di sana? Saya yakin, kolom Opini Kompas tetap punya visi dan misi yang jelas, sesuai bendera yang dikibarkan harian ini: amanat hati nurani rakyat. Meski demikian, citra yang sudah (lama) terbangun, bahwa kolom Opini Kompas cenderung 'menguliahi' dan kurang 'mencerahi' patut dijadikan bahan refleksi. Kesan bahwa karangan yang diterima lebih ditentukan olen nama besar dan bukan terutama oleh  gagasan segar pantas diberi perhatian.

Peristiwa mundurnya Anggito Abimanyu dari UGM akibat tuduhan plagiat ini menjadi sebuah cermin untuk saya sendiri: untuk apa saya menulis di Kompasiana dan (mimpinya) di kolom Opini Kompas? Sekedar dapat honorarium besar? Agar jadi penulis tenar? Hmmm... mungkin niat-niat itu ada juga, tapi kalau hanya untuk itu, ya saya sudah gagal sebagai penulis. Seperti yang pernah diungkapkan seorang kompasianer lain, menulis itu ibarat menggembalakan kata-kata ke dunia sastra yang hijau. Menulis juga berarti mendamaikan kenyataan dengan kata, menghembuskan roh gagasan ke dalam kata-kata hingga kata-kata itu hidup dan pada gilirannya kata-kata itu menghidupkan gagasan baru ke dalam batin pembaca.

Saya teringat pergulatan mendiang romo arsitek penulis, romo Mangun. Beliau pernah mengeluh bahwa tulisan-tulisannya cenderung dilewati orang karena terlalu berat. Meski nama dan reputasinya sudah punya harga jual yang tinggi bagi redaksi kolom Opini Kompas, romo Mangun toh tetap berjuang agar gagasannya dapat mendarat di hati pembaca. Maka, strategi baru pun ia gunakan: dalam tulisannya, romo Mangun lebih banyak memanfaatkan cerita sehari-hari sebagai kemasan gagasannya daripada memakai bahasa-bahasa teknis yang tinggi-tinggi.

Akhir kata, pekatnya perdebatan soal plagiat di warung kopi Kompasiana telah berhasil merobohkan opini saya sendiri tentang kemahasempurnaan kolom Opini Kompas berikut dewan redaksinya. Mereka toh tetap manusia yang bisa disilaukan oleh gelar dan nama besar. Yang penting adalah terus belajar dan saling belajar. Dan di Kompasiana inilah, suasana demokrasi para penggembala kata itu tercipta.

Ville de Lumière, Senin 17 Februari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun