Buka-buka buku kumpulan puisi. Ketemu tumpukan puisi bagus dari masa kegelapan. Baca sana baca sini, kok ada satu puisi yang pas banget buat salah satu capres tahun ini. Judulnya juga pas, karena juru bicara capres itu suka main tebak-tebakan lewat puisinya. Simak saja deh puisi berikut ini:
Ayo Kita Tebakan!
ayo kita tebakan!
dia raja tapi tanpa mahkota
punya pabrik punya istana
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia kaya
keluarganya punya saham di mana-mana
tapi negaranya rangking tiga
paling korup di dunia
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain
selain dia
kalau marah
mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah
ditembak jidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia sakti
tapi pasti mati
meski seakan tak bisa mati
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
siapa aku?
aku adalah diktator
yang tak bisa tidur nyenyak!
Maksud hati berhenti pada puisi ini, tapi apa daya, banyak puisinya yang mempesona. Lebih lagi kalau ingat, kebanyakan dari kita mudah dijalari penyakit lupa atau tertipu indahnya penampilan: merahnya mawar menutupi tajamnya duri. Maka, ijinkan saya mengutip lagi satu puisi lagi:
Penyair
jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis di dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan pemberontakan
dan tetes darah
Memang, puisi-puisi ini bukan karyaku. Mari main tebak-tebakan, siapa pengarang puisi-puisi ini? Tidak sulit kok jawabannya. Yang pasti, dia penyair yang dikejar-kejar, pisah dari keluarga tapi tak pernah dari kata-kata. Kata-kata yang meresahkan penguasa. Puisi terakhir ini ditulis untuk anaknya:
Wani, Bapakmu Harus Pergi
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita
Dan pencuri itu memang datang, mengambil suami dan ayah, dan penyair kita ini. Dicuri dari tengah keluarga, diculik dari tengah kita, sampai sekarang tidak jelas rimbanya. Dia, penyair kita, sudah menendang si kerdil ketakutan. Sementara, ada orang yang mengaku tentara, tapi masih takut membeberkan perkara, menyangkut hilangnya banyak jiwa.
Senjakala bulan April sudah tiba. Sebentar lagi terbit kembali bulan Mei. Dan, di sini, masih tercium bau anyir darah dan daging terbakar...
Ville de Lumière, Kamis 24 April 2014
Nb. Mas Wiji Thukul, ijin ya, kucopy-paste puisi-puisimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H