Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Rekonsiliasi TNI

6 Oktober 2014   04:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:15 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TNI erat dikaitkan dengan sebuah narasi besar tentang revolusi bersenjata untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Orde Baru mengubah narasi ini menjadi ideologi alias "sang narasi" yaitu satu-satunya jalan pemikiran sahih yang menjelaskan bagaimana dan mengapa Indonesia merdeka. Akibatnya, narasi lainnya perihal perjuangan diplomatis tidak diberi tempat entah karena dinilai sebagai sebentuk kolaborasi-kompromi dengan kolonialisme Barat entah karena dianggap sebagai jalan para penakut.

Di tahun 1970, Bung Hatta pernah mengeluhkan cara pandang ini: "Sebelum ada tentara, yang berjuang untuk kemerdekaan hanya orang pergerakan politik. ... Dapatkah Indonesia merdeka kalau tidak ada perjuangan di United Nations (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan KMB (Konferensi Meja Bundar)?" (Tempo, Edisi Khusus tentang Panglima Besar Soedirman).

Yang ditantang bung Hatta tentu bukan strategi perjuangan gerilya TKR (Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI) tetapi dikotomi militer-sipil yang dikedepankan Orde Baru. Dikotomi militer-sipil menjadi jangkar rezim Orde Baru untuk membumikan ideologi supremasi militer atas kekuatan sipil. Di bawah ideologi ini, Panglima Besar Soedirman, personifikasi perjuangan militer, ditampilkan sebagai anti-tesis dari Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta, personifikasi perjuangan diplomasi. Orde Baru tidak menyatukan dua strategi perjuangan yang berbeda, tetapi memisahkannya dengan mensubordinasi perjuangan sipil di bawah perang gerilya.

Pilihan Soekarno-Hatta untuk tetap tinggal di Yogyakarta dan membiarkan diri ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 ditafsirkan oleh sejarawan rezim Orde Baru sebagai tindakan pengecut. Pilihan ini dilawankan dengan sikap Soedirman yang memutuskan untuk masuk ke hutan dan dari sana meneruskan perang melawan Belanda secara gerilya. Tidak dijelaskan sama sekali bahwa keputusan Dwi Tunggal adalah keputusan parlemen.

Apakah Panglima Besar Soedirman sendiri menyetujui dikotomi militer-sipil ini? Tentu tidak. Menjelang Konferensi Meja Bundar, bung Karno dan Soedirman berseberangan pendapat soal gencatan senjata. Yang satu menghendaki perlunya gencatan senjata agar negosiasi itu dapat terlaksana; sementara yang lain bertekad terus angkat senjata sebagai "bargaining power" selama negosiasi.

Karena tidak ada kata sepakat, Soedirman akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Surat pengunduran diri itu pun sampai ke tangan Nasution. Nasution lantas berkunjung ke kediaman Soedirman dan berkata kepada sang Panglima Besar yang terbaring di tempat tidur, "...persatuan antara TNI dan Soekarno-Hatta lebih penting ketimbang strategi perjuangan." Soedirman setuju atas usul Nasution dan urung mengundurkan diri.

Pengakuan Soedirman atas pentingnya persatuan militer-sipil dalam perjuangan dipaparkan lebih lanjut dalam kesaksian Rosihan Anwar. Menurut tokoh pers Indonesia ini, di tahun 1950, Soedirman pernah berkata kepada Sultan Hamengku Buwono IX bahwa "Sjahrir adalah tokoh besar yang pantas memimpin Republik."

Pandangan ini lahir setelah Soedirman berdiskusi dengan perdana menteri pertama Republik Indonesia itu. Sjahrir menjelaskan alasan mengapa jalur diplomasi lebih tepat sasaran ketimbang konfrontasi. "Kekuatan tentara Indonesia belum cukup untuk melawan Belanda," jelas Sjahrir.

Dengan demikian, Bapak Pendiri TNI bukanlah tokoh militer yang anti kekuatan sipil. Beliau lebih mengedepankan persatuan dan rekonsiliasi daripada perpecahan dan subordinasi antara militer-sipil. Pendekatan naratif, yang lebih menyatukan beragam unsur yang tampaknya bertentanga, lebih mampu memperluas cakrawala pandang daripada pendekatan ideologis yang lebih abstrak dan mudah ditafsirkan berdasarkan kepentingan praktis-sesaat. Salah satu buah dari pendekatan ini adalah pengakuan bahwa TNI bukan sekedar alat kekuasaan atau alat politik tetapi juga saksi pentingnya rekonsiliasi.

Salah satu kisah mengharukan tentang rekonsiliasi para tokoh dalam tubuh angkatan bersenjata dikisahkan dalam Edisi Khusus majalah Tempo tentang LB Moerdani. Di bulan Agustus 2004, Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, membesuk Benny Moerdani di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.

Dua purnawirawan Angkatan Darat bertemu; dua kutub yang sempat berseberangan di tahun 80'an saling tatap. Yang terbaring sakit pernah sakit hati karena dicopot dari jabatan sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan tidak lagi dipandang sebagai orang kepercayaan; yang membesuk pernah merasa tersinggung karena orang loyalis ini sempat mengkritik kekuasaan ekonomi dan politis anak-anaknya yang mulai menggurita. Tetapi, dalam ajang besukan itu, Soeharto akhirnya mengakui bahwa apa yang pernah dikatakan Moerdani benar adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun