"Pergi dari Kadipaten Tuban ini. Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri. Pergi..! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca di malam hari!" pekik sang ibunda yang murka.
Adipati Wilatikta dan istrinya sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said.
Sang adik percaya Raden Said berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita: Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said.
Cinta Sang Adik
H. Lawrens Rasyid menulis, Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan yang tak pernah ditemukan oleh mereka.
Dewi Rasawulan, berjalan sudah jauh dari istana Tuban ia berjalan ke arah barat laut, naik turun gunung, keluar masuk hutan dan mengarungi beberapa sungai mencari dimana sang kakak, Raden Said berada. Tetapi usahanya sia-sia, Raden Said seperti di telan dunia.
Meski demikian, cinta yang mendalam di dalam hatinya kepada sang kakak tidak menyurutkan niatnya. Ia bersumpah tidak akan kembali ke istana Tuban, sebelum memenukan dan mengajak pulang Raden Said. Dalam hatinya selalu berkata: "Kang Mas Said, di mana kamu berada kangmas. Jangan tinggalkan aku." Begitulah selalu terucap dari mulut Dewi Rasawulan.
Diceritakan, dalam pencarian Raden Said, Dewi Rasawulan melakukan 'tapa kijang', yaitu berkelana tanpa arah tujuan. Ia hanya makan dari makanan yang tersedia di alam beraneka buah-bahan dan dedaunan. Perjalanan yang panjang sampai menjadikan diri Dewi Raswulan lupa jati dirinya. Ia tidur di mana ia ingin tidur, di atas pohon, di semak-semak atau di mana saja di alam terbuka. Hidup berbulan-bulan di alam menjadikan pakaian yang dipakai lapuk dan sobek-sobek, compang-camping bahkan ia menambalnya dengan dedauann untuk menutupi tubuhnya. Penduduk yang kebetulan bertemu dengannya sudah tiada mengenalinya, bahwa ia adalah Dewi Rasawulan putri bupati Tuban. Penduduk hanya melihatnya seperti orang yang hilang ingatan, karena memakan apa saja yang ditemukannya. Tubuhnya tidak terurus, badannya bergelepotan tidak pernah mandi, rambutnya gimbal oleh tanah, dan wajahnya menghitam karena terkena panasnya terik matahari. Begitulah keadaan sekarang dari sekar kedaton istana Tuban.
Trianto Ibnu Badar at-Taubany
Penulis, Praktisi, Pemerhati, dan Birokrasi Pendidikan, Seni, dan Budaya. Kelahiran Tuban, saat ini berdomisili di Sidoarjo. Penulis buku bestseller "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual."