Gugurnya Sri Huning dalam membela tanah air menjadikan kesedihan yang amat sangat keluarga kadipaten Tuban dan Bojonegoro, lebih lagi Raden Wiro Admodjo. Entah sudah berapa badanya mendekap erat tubuh Sri Huning yang terkulai dan mulai pucat membiru. Dari sela-sela kerumunan para kerabat kadipaten dan para prajurit, datang seorang wanita masih lengap dengan pakain temanten. Dialah putri kedathon Kadipaten Bojonegoro Dewi Retno Kumolo. Dengan suara lantang sang putri itu berujar:
"Kakang Wiro Atmojo, kamu adalah seorang pengecut. Kamu tidak berani berangkat ke medan perang. Kamu hanya sembunyi dibalik gaun wanita. Apalah gunanya aku jadi menjadi istrimu lebih baik aku menjadi seorang janda!."
Suara itu amat keras memukul hati Wira Atmojo dan juga para kerabat kadipaten. Suara itu menyakitkan hati Wira Atmojo tetapi lebih sakit lagi melihat kematian Sri Huning adik dan sekaligus kekasih hatinya. Di dalam benaknya terbayang wajah Adipati Lamongan Indro Djojo. Dialah yang sudah membuat Sri Huning tewas di medan perang.
"Baik ... baik. Ayahanda dan Pamanda ijinkan aku Wiro Atmojo, pergi ke medan laga."
"Jangan. Anakku, masih banyak senopati yang bisa membela kadipaten Tuban dan Bojonegoro."
"Benar. Ananda. Ananda adalah temanten, jadi tidak seharusnya ananda pergi ke medan laga. Biarlah kami dan para prajurit yang akan menghadapi Adipati Lamongan itu."
"Maaf. Ayanda dan Pamanda Adipati."
Kemauan Wiro Atmojo untuk maju ke medan laga tidak dapat ditahan lagi. Dengan gigi yang terdengar gemeluthuk karena menahan dendam, diapun berangkat menuju medan perang dengan dikawal oleh beberapa prajurit meski malam semakin larut dan hujanpun terus mengguyur.
Sesampai di perkemahan prajurit Lamongan, dengan suara lantang Wiro Atmojo menantang Adipati Indro Joyo.
"Hai. Indro Joyo jangan kamu sembunyi seperti seorang wanita. Hadapilah inilah Wiro Atmojo putra bupati Tuban."
Tantangan Wiro Atmojo tidak mendapat sambutan. Hal itu semakin membuat dirinya kalap. Dengan menderapkan kuda hitamnya Kyai Cemeng, Wiro Atmojo menerjang perkemahan perajurit Lamongan yang sedang tertidur. Mereka tidak mengira di malam yang larut begini akan diserbu oleh pasukan musuh. Karena mereka hanya mempersiapkan perang untuk siang hari. Maka tak ayal para prajurit-prajurit itupun menjadi sasaran amukan Wiro Atnojo dan pasukannya. Ada keinjak kaki kuda Kyai Cemeng ataupun terkena sabetan tombak dan pedang. Beberapa pasyukan panah apipun mulai beraksi. Karuan saja perkemahan prajurit Kadipaten Lamongan itupun bumi hangus. Beberapa prajurit berheniat hendak melarikan diri tetapi ujung panah, tombak dan pedang pasukan yang dipimpin oleh Wiro Atmojo telah lebih dahulu menusuk dada dan punggung mereka. Malam itu benar-benar prajurit Lamongan telah di bikin geger.
Seorang kepala prajurit berhasil melarikan diri dan melapor kepada Adipati Indro Joyo yang sedang bersenang-senang dengan beberapa wanita klangenan dan selir. Memang itulah kebiasaan Adipati yaitu suka bermain perempuan. Demi mendengar laporan kepala prajurit itu serta merta Adipati berdiri sambil mendorong para perempuan yang sejak tadi menghiburnya. Para perempuan itupun buru-buru menjauhi Adipati Indro Jojo sambil memperbaiki pakaian mereka. Sementara Adipati Indro Joyo, beranjak dari peraduan dan berganti dengan busana perang lengkap dan tidak lupa keris saktinya Kyai Cablak segera tersarungkan di pingganya yang tambun. Hanya dengan memberi isyarat seorang abdi dalam telah datang sambil membawakan kuda tunggangan. Malam itupun Adipati Indro Joyo menuju medan laga dengan didampingi Mahapatih Sosoro Ydho.
"Hai. Anak muda, kaulah itu Wiro Atmojo anak Sirolawe dan suami Retno Kumolo. Bagaimana kalau Retno Kumolo kau berikan padaku sehingga kita tidak perlu lagi berperang. Hey." demi melihat kedatangan Indro Joyo darah Wiro Atmojo bergejolak, bukan kata-kata hinaan yang keluar dari mulut Indro Joyo yang membuat darahnya bergolak. Tetapi demi teringat akan kematian Sri Huning.
"Hey. Indro Joyo. Kaulah itu orang yang telah membunuh kekasihku Sri Huning. Aku ke sini untuk menantu balas kematiannya."
"Ha ... ha ... Dia kekasih Sri Huning! Dan mau menuntut balas. Nggak salah ..."
Ledekan Indro Joyo itupun disambut tawa para prajurit Lamongan. Hal ini semakin membvuat hati Wiro atmojo tersayat-sayat.
"Sudah. Nggak usah banyak cing cong." Wiro Atmojo sudah tidak
Namun Prabu Indro Djojo bukanlah musuhnya ditambah lagi kesedihan akan kematian Sri Huning membuat dirinya tidak berarti lagi. Sehingga dengan mudah Prabu Indro Djojo berhasil menusukkan kerisnya ketubuh Raden Wito Admodjo hingga tewas. Pedhut di langit Tuban benar-benar pekat, Prabu Sirolawe telah kehilangan dua putra terkasihnya.
Sehingga ketika Raden Wiro Utomo bermohon untuk menjadi senopati perang, Prabu Sirolawe tidak sampai hati mengeluarkan kata-katanya. Dia sangat kawatir akan nasib anaknya yang tinggal satu. Jangan-jangan bernasib sama dengan kedua saudaranya, dia menyerahkan keruis pusaka peninggalan leluhurnya dan juga Eyangnya Ronggolawe yang terkenal sebagai Panglima Perang pada masa berdirinya Kerajaan Majapahit dan seekor kuda jantan berwarna hitam yang juga keturunan kuda perang Ronggolawe.
Bagaikan Ronggolawe yang hidup kembali Raden Wiro Utomo dengan gagah berani memporak-porandakan pasukan kadipaten Lamongan dan berhasil membinasakan Prabu Indro Djojo dan patihnya Sosro Yudho.
***
Kemenangan Raden Wiro Utomo belum mampu mengobati kesedihan hati Prabu Sirolawe yang kehilangan dua putranya, Sri Huning dan Raden Wiro Admodjo. Keduanya telah menjadi tumbal bagi kadipaten Tuban dan Bojonegoro, cinta mereka tetap sebagai rahasia hingga diakhir hayatnya. Cinta yang suci ... sebagai asmara yang berlumur duka .... laboh tresno saboya pati, dus Sri Huning djadikan sebagai simbol Mustika Puteri dan Srikandi yang berasal dari Tuban.
Atas kesepakatan bersama Raden Wiro Utomo dijodohkan dengan Dewi Retno Kumolo untuk melanjutkan hubungan kekeluargaan dan melanggengkan keturunan antara Kadipaten Tuban dan Bojonegoro.
Trianto Ibnu Badar at-Taubany
Penulis, Pemerhati, Praktisi, dan Birokrasi Pendidikan, Seni, dan Budaya. Kelahiran TUBAN, sekarang tinggal di SIDOARJO. Penulis buku bestseller "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI