Seorang kepala prajurit berhasil melarikan diri dan melapor kepada Adipati Indro Joyo yang sedang bersenang-senang dengan beberapa wanita klangenan dan selir. Memang itulah kebiasaan Adipati yaitu suka bermain perempuan. Demi mendengar laporan kepala prajurit itu serta merta Adipati berdiri sambil mendorong para perempuan yang sejak tadi menghiburnya. Para perempuan itupun buru-buru menjauhi Adipati Indro Jojo sambil memperbaiki pakaian mereka. Sementara Adipati Indro Joyo, beranjak dari peraduan dan berganti dengan busana perang lengkap dan tidak lupa keris saktinya Kyai Cablak segera tersarungkan di pingganya yang tambun. Hanya dengan memberi isyarat seorang abdi dalam telah datang sambil membawakan kuda tunggangan. Malam itupun Adipati Indro Joyo menuju medan laga dengan didampingi Mahapatih Sosoro Ydho.
"Hai. Anak muda, kaulah itu Wiro Atmojo anak Sirolawe dan suami Retno Kumolo. Bagaimana kalau Retno Kumolo kau berikan padaku sehingga kita tidak perlu lagi berperang. Hey." demi melihat kedatangan Indro Joyo darah Wiro Atmojo bergejolak, bukan kata-kata hinaan yang keluar dari mulut Indro Joyo yang membuat darahnya bergolak. Tetapi demi teringat akan kematian Sri Huning.
"Hey. Indro Joyo. Kaulah itu orang yang telah membunuh kekasihku Sri Huning. Aku ke sini untuk menantu balas kematiannya."
"Ha ... ha ... Dia kekasih Sri Huning! Dan mau menuntut balas. Nggak salah ..."
Ledekan Indro Joyo itupun disambut tawa para prajurit Lamongan. Hal ini semakin membvuat hati Wiro atmojo tersayat-sayat.
"Sudah. Nggak usah banyak cing cong." Wiro Atmojo sudah tidak
Namun Prabu Indro Djojo bukanlah musuhnya ditambah lagi kesedihan akan kematian Sri Huning membuat dirinya tidak berarti lagi. Sehingga dengan mudah Prabu Indro Djojo berhasil menusukkan kerisnya ketubuh Raden Wito Admodjo hingga tewas. Pedhut di langit Tuban benar-benar pekat, Prabu Sirolawe telah kehilangan dua putra terkasihnya.
Sehingga ketika Raden Wiro Utomo bermohon untuk menjadi senopati perang, Prabu Sirolawe tidak sampai hati mengeluarkan kata-katanya. Dia sangat kawatir akan nasib anaknya yang tinggal satu. Jangan-jangan bernasib sama dengan kedua saudaranya, dia menyerahkan keruis pusaka peninggalan leluhurnya dan juga Eyangnya Ronggolawe yang terkenal sebagai Panglima Perang pada masa berdirinya Kerajaan Majapahit dan seekor kuda jantan berwarna hitam yang juga keturunan kuda perang Ronggolawe.
Bagaikan Ronggolawe yang hidup kembali Raden Wiro Utomo dengan gagah berani memporak-porandakan pasukan kadipaten Lamongan dan berhasil membinasakan Prabu Indro Djojo dan patihnya Sosro Yudho.
***
Kemenangan Raden Wiro Utomo belum mampu mengobati kesedihan hati Prabu Sirolawe yang kehilangan dua putranya, Sri Huning dan Raden Wiro Admodjo. Keduanya telah menjadi tumbal bagi kadipaten Tuban dan Bojonegoro, cinta mereka tetap sebagai rahasia hingga diakhir hayatnya. Cinta yang suci ... sebagai asmara yang berlumur duka .... laboh tresno saboya pati, dus Sri Huning djadikan sebagai simbol Mustika Puteri dan Srikandi yang berasal dari Tuban.