Siang itu saya bersantai sambil menonton berita siang di televisi. Maklum, saya pekerja lepas yang bebas mengatur jadwal kerja sendiri. Mata saya yang sudah mulai mengantuk tiba-tiba melebar lagi ketika melihat judul berita di layar kaca.
Perempuan Dibalik Ahok
Kalau diubah menjadi bentuk aktif kalimat tersebut akan berbunyi: Ahok Membalik Perempuan. Astaga! Yang benar saja! Saya yakin, tentu bukan itu yang dimaksud.
Kesalahannya terletak pada penggunaan kata 'di', seharusnya di Balik menjadi Dibalik. Dibalik dan di balik. Huruf-hurufnya sama persis. Namun, penulisan yang berbeda menimbulkan arti yang berbeda pula.
Saya tak sempat memotret berita itu. Entah karena saya kurang sigap atau editor di news room stasiun televisi tersebut yang cepat menyadari kesalahannya. Ketika saya mengambil ponsel untuk memotret, tulisan tersebut sudah berubah menjadi Perempuan Dibalik Keberanian Ahok. Eh, tetap saja Dibalik.
Kesalahan penulisan seperti ini bukan baru satu-dua kali terjadi. Penggunaan kata "di" yang tidak tepat termasuk yang cukup sering ditemui. Yang seharusnya dirangkai dengan kata yang mengikutinya malah dipisah. Sebaliknya, yang seharusnya dipisah malah disambung. Alhasil, muncullah arti yang berbeda.
Mobil Murah Di Buru Warga (Foto: dokumentasi pribadi. Diambil Sabtu 22 September 2012)
***
Media massa tak hanya memiliki fungsi menyebarkan informasi, kontrol sosial, dan menghibur. Media massa juga memiliki fungsi pendidikan. Selayaknyalah bahasa yang digunakan adalah bahasa yang benar. Masyarakat akan belajar dari sana. Terbiasa melihat (dan mendengar) penggunaan bahasa yang salah dapat membuat yang salah itu dianggap benar. Benar karena terbiasa padahal belum tentu benar-benar benar.
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana seringnya Pak Harto (alm) menggunakan kata daripada. Misalnya: Gubernur daripada Provinsi Jawa Barat, kekayaan daripada alam Indonesia. Penggunaan kata daripada yang tidak tepat ini pun diikuti oleh banyak orang yang menonton beliau berbicara di televisi.
Penggunaan bahasa yang salah itu menjadi semakin kacau jika berita atau artikel yang dimuat di media (cetak atau online) dikutip dalam tulisan lain. Mengutip seperti aslinya tentu akan membawa serta kesalahan penulisan tersebut. Lebih jauh lagi, akan menyebarluaskan kesalahan berbahasa tersebut.
Media (cetak atau online) yang memiliki editor bisa meminimalkan kesalahan itu walaupun masih kerap kecolongan. Bagaimana dengan media online yang dikelola oleh pribadi atau jurnalisme warga (citizen journalism)? Kesalahan berbahasa ini—mau tak mau harus diakui—banyak sekali terjadi. Hal ini karena semua orang bebas menulis apa saja yang terlintas di benaknya dan semua tulisan pasti ditayangkan tanpa seleksi dan penyuntingan.
Di satu sisi, informasi menjadi lebih cepat tersebar. Di sisi lain, kesalahan berbahasa pun ikut tersebar luas.
Tanggung jawab berbahasa tulis ada pada kita yang menulis. Tentu kita tak ingin mewariskan kesalahan berbahasa ini pada anak cucu kita, kan?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H