Pesepeda yang awalnya adalah solusi polusi dan pahlawan penantang pemanasan global, akhir-akhir ini citra tersebut sedikit ternoda oleh para pesepeda arogan. Bukan tanpa alasan karena beberapa kejadian yang terekam kamera netizen dan kemudian dijadikan bahan ghibah berjamaah. Mulai dari yang tidak taat jalur di jalan raya, tidak taat rambu lalu lintas, hingga arogansi kala di jalan raya.
Pesepeda yang sepedaannya kalau wiken saja dan lebih banyak pamer gearset dan body curve berbalut pakaian ketat ini sampai dibuat bahan meme kaus bertulis "Peletonan hanya alasan untuk lihat pantat-pantat seksi temenmu yang lagi di depan" dan "Jadilah kaya, beli roadbike, agar hidup semena-mena." Jelas tuduhan-tuduhan tak berdasar ini karena dilandasi iri hati dan ketidakpahaman zietgiest para pesepeda arogan mahal itu.
Nah, saya sebagai salah satu pesepeda yang tidak kuat beli sepeda mahal yang sudah bersepeda dari rumah ke sekolah sejak dulu, baik SD, SMP, SMA maupun kuliah. (Aduh yang bagian terakhir ini sedih karena sepeda lipat pertama yang saya beli dari kantong sendiri harus hilang di parkiran kampus tempat orang-orang menuntut ilmu), berusaha memahami dan menjelaskan kepada khalayak ramai mengapa sikap arogan itu muncul.
Mengapa saya merasa valid menjelaskan ini karena di tengah saya mengayuh sepeda ke kantor, saya melakukan kontemplasi meditatif. Memikirkan bahwa saya bersepeda sejak lama tapi mengapa fenomena pesepeda arogan ini baru muncul dan ramai dicerca akhir-akhir ini.
Dan ujung permenungan itu adalah penjelasan yang sekaligus pledoi bagi para pesepeda yang dituding tak beradab ini.
Yang pertama patut dipahami oleh para netizen berhati iri namun budiman adalah para pesepeda (yang dituding) arogan ini adalah pesepeda musiman yang memang muncul saat pandemi berlangsung.Â
Di tengah kegabutan, demam bersepeda kemudian melanda. Yang kantongnya cekak ya beli sepeda asal bisa digowes saat car free day. Yang berkantong agak dalam, tentu kurang puas kalau hanya beli sepeda dengan harga receh, maka dibelilah sepeda-sepeda premium berjenama Cervelo, De Rosa, Trek, hingga Brompton.
Harga sepeda ini tidak main-main, mulai puluhan hingga ratusan juta. Satu sepeda seharga Brio! Jelas ini menambah beban saya berkontemplasi di atas sepeda yang hanya berharga receh.
Saat orang-orang berada ini berhasil membeli sepeda, kemudian apa yang harus dilakukan? Ya dipamerin donk. Eh maksudnya digowes donk dengan cara bersepeda keliling kota.
Mulailah mereka ini turun ke jalan bersama para rombongannya. Sebab relatif tidak mungkin pesepeda kaya pemula ini mau menggowes sendirian. Yaa mungkin paling sesekali saja.