Pasca ramadan adalah hari raya. Idulfitri namanya. Hari kemenangan yang biasanya dirayakan dengan saling meminta maaf. Karena sudah menjadi tradisi, seringkali kita meminta maaf dan memberi maaf hanya kepada orang-orang yang 'tidak terlalu' memiliki kesalahan pada kita. Lain cerita jika orang tersebut memiliki kesalahan yang cukup membekas di hati. Kalau sudah demikian, maka berat rasanya memaafkan.
Rasa berat memaafkan sejatinya adalah endapan ego yang masih belum beres. Kejadian sudah usai. Orangnya juga kadang sudah lupa, lantas mengapa masih membekas? Karena ego kita masih memiliki luka yang menganga.
Memaafkan sejatinya berdamai dengan diri sendiri. Menerima semua yang sudah terjadi dan mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Memaafkan sejatinya membebaskan diri sendiri. Membebaskan dari 'jebakan' rasa jengkel dan luka yang seringkali orang yang berhubungan dengan peristiwa tersebut sudah lupa.
Memaafkan sejatinya mengijinkan diri sendiri untuk menjadi lebih baik dan fokus menatap masa depan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik.
Semua ini memang mudah diucapkan, tapi berat bagi yang menjalani. Maka dari itulah Allah SWT memberikan balasan surga seluas bumi langit dan dicap sebagai orang yang bertakwa. Memaafkan adalah wujud dari implementasi sikap ikhlas.
Studi ilmiah pun mengungkapkan manfaat psikologis dan fisiologis. Dalam bukunya Forgive for Good karya Dr. Frederic Luskin, Direktur Stanford University Forgiveness Project (2003) mengungkapkan bahwa memaafkan dapat membantu yang bersangkutan merasa lebih ringan sakit hatinya, kuat secara emosional, peningkatan kepercayaan diri yang lebi besar, dan membuat pelakunya lebih optimis.
Dari sisi fisiologis, memaafkan dapat memperbaiki fungsi kardiovaskuler (jantung) dan mengurangi kesehatan yang buruk (Miller, Smith, Turner, Guijarro, & Hallet, 1996; Tennen & Affleck, 1990).
Bahkan, hanya dari sifat tidak mendendam dan memaafkan saja, seorang sahabat Nabi dijamin masuk surga.
Suatu ketika Rasullullah sedang duduk-duduk bersama para sabahat. Seketika Rasul berseru, ''Sebentar lagi akan muncul ke hadapan tuan-tuan sekalian seorang laki-laki penduduk surga.''
Setelah ditunggu beberapa saat, muncullah lelaki yang dimaksud bernama Sa'ad bin Abi Waqqash RA. Karena penasaran, para sahabat pun bertanya amalan apakah yang sering ia tunaikan sehingga disebut Rasul sebagai penduduk surga?
Dengan senang hati, Sa'ad bin Abi Waqqash RA. pun menceritakan tidak ada amalan istimewa yang ia kerjakan dan kurang lebih sama dengan apa yang dikerjakan sahabat lain. Namun Saad bin Abi Waqqash RS menambahkan, "Hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap siapa pun di antara kaum Muslimin.''. Bahkan kepada siapapun yang pernah menyakitinya.Â
Dan satu lagi, sebenarnya untuk apa juga kita menunda-nunda atau enggan memaafkan orang lain? Kita tidak pernah tahu, jangan-jangan orang yang kita masih gantung maafnyalah satu-satunya orang yang bisa menolong kita di kala kondisi susah yang datang suatu saat nanti. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H