Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Apa yang Akan Dihadapi Anak Kita dan Bagaimana Agama Sebaiknya Dikenalkan

2 Mei 2021   22:18 Diperbarui: 2 Mei 2021   22:27 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membersamai anak mengenalkan agama dan ibadah di kala Ramadan | Dok. Trian Ferianto

Ramadan adalah momentum pengenalan ibadah mahdhah secara kolosal. Banyak ritual ibadah dilakukan secara demonstratif di bulan ini. Dan bagi anak saya yang masih dalam tahap praoperasional (usia 2-7 tahun) sangat perlu stimulasi rangsangan yang bisa membuat mereka 'terpantik' rasa penasarannya. Dari sinilah saya memasukkan dan menemani anak untuk memahami beragam ibadah yang biasa dilakukan oleh umat muslim.

Alhamdulillah, sejauh ini saya tidak terlalu 'repot' menanamkan kedisiplinan beribadah. Bagi saya, mereka cukup 'menikmati' kehidupannya dengan bermain-bermain, dan bermain, sambil memberikan keteladanan menjalankan ritual beribadah.

"Children see, children do. Children are great imitators. So, give them something great to imitate", begitu saya dapatkan quote dari buku Islamic Montessori.

Mengajarkan anak beribadah, sejatinya adalah mengajarkan kedisiplinan beribadah kepada diri sendiri. Jika kita konsekuen dengan berdisiplin beribadah, anak-anak akan melakukan demikian. Namun jika sebaliknya, mereka juga akan terpahamkan bahwa ibadah tidak perlu harus rutin.

Sebelum adanya pandemi dulu, saya berdisiplin kepada diri sendiri untuk selalu mengusahakan pergi ke masjid di kala azan berkumandang. Anak yang sedari kecil menyaksikan ayahnya melakukan kebiasaan ini, suatu ketika akan terpantik untuk bertanya, "Ayah mau kemana?". Tugas saya hanya menjawab dan memenuhi rasa penasarannya.

"Ayah ke masjid. Kakak mau ikut?", dan biasanya anak akan tertarik dengan ajakan itu.

Sejak itu, saya sebenarnya bertaruh pada diri sendiri untuk konsisten menjalankan hal tersebut. Ini adalah contoh bahwa ibadah ini memang perlu dijalankan rutin. Tidak lupa saya harus dengan kesadaran penuh, riang gembira, dan tidak tampak berat hati menjalankannya. Dengan demikian, anak akan merasakan hal yang sama bahwa ibadah itu memang menyenangkan.

Begitupun dengan kebiasaan ibadah lainnya semisal membaca alquran, bersedekah, berbuat baik, menolong orang lain, ramah, dan bersabar.

Baca juga: Momen Ramadan sebagai Media Pendidikan Kontekstual Anak

Maka, saat masa ramadan seperti sekarang ini, saat-saat mengenalkan beragam ibadah mahdoh itu mendapatkan momentum yang pas. Anak akan menyaksikan dengan sendirinya semua ibadah dilakukan secara kolosal. Banyak orang lain juga melakukannya. Tidak hanya dia sendiri, atau orang tuanya sendiri.

"Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dengan masamu." - Ali bin Abi Thalib RA

Sebagai orang cukup megikuti perkembangan teknologi, yang sekaligus senang mempelajari sejarah, saya memahami bahwa era 10 - 20 tahun ke depan adalah era yang bisa jadi benar-benar berbeda dengan apa yang kita saksikan sekarang. Cara-cara klasik, tampaknya berpotensi menemui ketidakrelevanan dengan masa depan yang akan dihadapi. Termasuk cara-cara bagaimana agama dikenalkan kepada anak.

Mereka akan menghadapi era di mana hampir semua orang akan terhubung, perkembangan teknologi Artificial Intelligence yang semakin canggih, hingga akan sampai pada titik bahwa segala ritual dan dogma-dogma agama semakin tidak relevan. Hal ini bisa terjadi jika kita hanya mengenalkan agama sebagai rangkaian ritual dan dogma tanpa bisa memberikan penjelasan yang filosofis sekaligus spiritual (menggetarkan spirit).

Jika kita pernah membaca terawangan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, manusia berpotensi pada satu titik nanti menjadi 'manusia setengah dewa'. Manusia akan sampai pada titik bisa mengendalikan seberapa lama dia mau hidup, jodoh mana yang paling cocok, bahkan bisa memprediksi kekayaan yang bisa diraih dengan suatu konstelasi algoritma tertentu.

Manusia akan sampai pada titik parangkat yang melekat di tubuhnya, lebih mengenali siapa dia sebenarnya daripada dirinya sendiri. Alias, gawai yang kita pakai, lebih mengenali kondisi diri kita daripada kita sendiri.

Saat kumpulan data itu telah menyatu dan terkumpul dalam suatu datawarehouse tertentu dan diinjeksikan algoritma tertentu, gawai kita akan bisa memberikan rekomendasi siapakan jodoh yang paling cocok dilihat dari rekam jejak kesehatan, impian, aktivitas, dan keadaan DNA kita. Kita bisa saja menolak rekomendasi tersebut, tapi tentu disertai dengan bayang-bayang kemungkinan buruk yang bakal terjadi.

Jika masa itu masih susah dibayangkan, analoginya agak mirip dengan kita kemudian sangat percaya pada rekomendasi rute jalan tertentu yang dapat terhindar macet dan bisa sampai lebih cepat daripada rute lain yang berisiko sangat padat. Kita boleh tidak percaya dan tidak mengikuti rekomendasi itu, tapi gawai juga sudah memberikan risiko yang akan kita hadapi jika tidak nurut dengan rekomendasinya.

Itulah sedikit gambaran yang akan dihadapi anak-anak kita. Salah kita mengkomunikasikan agama kepada mereka, rentan juga agama yang mereka pahami nanti semakin tidak relevan dengan zaman yang dihadapi.

Maka, salah satu hal penting yang coba saya tanamkan adalah rasa nyaman. Bahwa agama itu adalah kenyamanan. Agama itu seharusnya menjadikan kedamaian di hati, alih-alih rangkaian ritual dan hafalan dogma yang harus dikonsumsi.

Maka, tugas berat orang tua adalah sebagai guru pertama mereka adalah 'bagaimana menampilkan wajah agama sebagai sesuatu yang ramah dan akan menemani jalan hidup mereka sepanjang hayat', bukan malah mengenalkan sebagai 'sesuatu yang penuh dengan ancaman dan timbal balik pamrih yang sangat artifisial'.

Ada satu pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan anak saya, "Ayah, mengapa sih kita harus salat?"

Saya memilih menjawabnya dengan, "Iya, ayah suka salat karena mbah uti juga suka salat. Ayah sayang mbah uti dan ingin berkumpul lagi nanti setelah meninggal. Orang suka salat akan berkumpul dengan orang suka salah. Kalau kakak mau ketemu dengan ayah lagi nanti saat ayah sudah meninggal, maka kakak juga harus salat, karena ayah suka salat. Tapi kalau tidak salat, ya bisa jadi tidak akan ketemu ayah lagi nanti."

Ini adalah penjelasan awal untuk anak kecil dengan diiringi dengan konsistensi sikap saya untuk terus menjadi baik dan sabar kepada anak. Agar mereka juga merasakan sayang kepada orang tuanya dan ingin bertemu kembali kelak saat orang tuanya meninggal.

Penjelasan pertama sebelum nanti akan tiba masanya penjelasan tentang syarat sah, rukun, dan hal-hal apa yang membatalkan salat. (*)

Baca juga: Ini cara saya mendidik anak perempuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun