"Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dengan masamu." - Ali bin Abi Thalib RA
Sebagai orang cukup megikuti perkembangan teknologi, yang sekaligus senang mempelajari sejarah, saya memahami bahwa era 10 - 20 tahun ke depan adalah era yang bisa jadi benar-benar berbeda dengan apa yang kita saksikan sekarang. Cara-cara klasik, tampaknya berpotensi menemui ketidakrelevanan dengan masa depan yang akan dihadapi. Termasuk cara-cara bagaimana agama dikenalkan kepada anak.
Mereka akan menghadapi era di mana hampir semua orang akan terhubung, perkembangan teknologi Artificial Intelligence yang semakin canggih, hingga akan sampai pada titik bahwa segala ritual dan dogma-dogma agama semakin tidak relevan. Hal ini bisa terjadi jika kita hanya mengenalkan agama sebagai rangkaian ritual dan dogma tanpa bisa memberikan penjelasan yang filosofis sekaligus spiritual (menggetarkan spirit).
Jika kita pernah membaca terawangan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, manusia berpotensi pada satu titik nanti menjadi 'manusia setengah dewa'. Manusia akan sampai pada titik bisa mengendalikan seberapa lama dia mau hidup, jodoh mana yang paling cocok, bahkan bisa memprediksi kekayaan yang bisa diraih dengan suatu konstelasi algoritma tertentu.
Manusia akan sampai pada titik parangkat yang melekat di tubuhnya, lebih mengenali siapa dia sebenarnya daripada dirinya sendiri. Alias, gawai yang kita pakai, lebih mengenali kondisi diri kita daripada kita sendiri.
Saat kumpulan data itu telah menyatu dan terkumpul dalam suatu datawarehouse tertentu dan diinjeksikan algoritma tertentu, gawai kita akan bisa memberikan rekomendasi siapakan jodoh yang paling cocok dilihat dari rekam jejak kesehatan, impian, aktivitas, dan keadaan DNA kita. Kita bisa saja menolak rekomendasi tersebut, tapi tentu disertai dengan bayang-bayang kemungkinan buruk yang bakal terjadi.
Jika masa itu masih susah dibayangkan, analoginya agak mirip dengan kita kemudian sangat percaya pada rekomendasi rute jalan tertentu yang dapat terhindar macet dan bisa sampai lebih cepat daripada rute lain yang berisiko sangat padat. Kita boleh tidak percaya dan tidak mengikuti rekomendasi itu, tapi gawai juga sudah memberikan risiko yang akan kita hadapi jika tidak nurut dengan rekomendasinya.
Itulah sedikit gambaran yang akan dihadapi anak-anak kita. Salah kita mengkomunikasikan agama kepada mereka, rentan juga agama yang mereka pahami nanti semakin tidak relevan dengan zaman yang dihadapi.
Maka, salah satu hal penting yang coba saya tanamkan adalah rasa nyaman. Bahwa agama itu adalah kenyamanan. Agama itu seharusnya menjadikan kedamaian di hati, alih-alih rangkaian ritual dan hafalan dogma yang harus dikonsumsi.
Maka, tugas berat orang tua adalah sebagai guru pertama mereka adalah 'bagaimana menampilkan wajah agama sebagai sesuatu yang ramah dan akan menemani jalan hidup mereka sepanjang hayat', bukan malah mengenalkan sebagai 'sesuatu yang penuh dengan ancaman dan timbal balik pamrih yang sangat artifisial'.
Ada satu pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan anak saya, "Ayah, mengapa sih kita harus salat?"