Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Romantisme 260 Tahun Masjid Jamik Pasuruan

30 April 2021   23:11 Diperbarui: 30 April 2021   23:15 2963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nuansa malam hari Masjid Jamik Al Anwar Pasuruan | Dok. Yahya Zain

Jika ramadan tiba, saya diajak Bapak untuk beriktikaf juga di tempat ini. Biasanya berangkat sekitar jam sembilan malam dan pulang menjelang sahur. 

Bapak sih mungkin kuat bertafakur dan mengisi kegiatan iktikaf dengan membaca alquran, zikir, atau salat sunah. Tapi saya biasanya cukup salat dua rakaat, mengaji dan zikir sebentar, sudah ngantuk dan tertidur sampai akhirnya dibangunkan untuk diajak pulang. Jadi sebenarnya bukan iktikaf tapi pindah tempat tidur.

Masjid ini hingga kini masih kental nuansa kunonya. Gaya arsitekturnya juga khas. Saking iconicnya, masjid-masjid di daerah lain di Kota Pasuruan yang dibangun belakangan, sering meniru dan mengadopsi gaya ornamen Masjid Jamik. Memang, bagi orang Pasuruan akan selalu muncul kecintaan pada masjid satu ini. Saya kira, kami semua penduduk Pasuruan memiliki ikatan emosional dan spiritual dengan masjid ini.

Tahun-tahun setelah Bapak sudah tiada, saya biasa melakukan napak tilas apa yang biasa Bapak lakukan: mengikuti kajian malam reboan dan melakukan iktikaf di masjid ini. Sendirian.

Saya berusaha menggali memori romantisme saya dengan Bapak yang terakhir kami bertemu adalah saat berpamitan pergi ke Jakarta untuk kuliah. 

Empat hari pertama masa kuliah, tepatnya hari kamis pagi saat mata kuliah Agama Islam, saya mendapatkan telepon bahwa Bapak sudah mangkat.

Masjid ini memang bukan yang sehari-hari kami pakai untuk salat rutin lima waktu. Tapi masjid ini menjadi semacam 'masjid istimewa' yang kami tuju dan habiskan waktu di saat-saat istimewa juga.

Kini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun saya tidak menginjakkan kaki di Masjid Jamik Pasuruan karena harus merantau nun jauh jaraknya. Ada kerinduan di dalam hati. 

Dan setiap pulang kembali ke Pasuruan, saya nyaris pasti menyempatkan diri untuk salat di masjid ini dan melakukan tafakur barang sebentar untuk berzikir, berkontemplasi, dan mengenang romantisme saya hidup di Kota Pasuruan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun