Sebagai orang tua yang sedang belajar dan menerapkan pola pendidikan homeschooling pada anak-anak, setiap momen dan aktivitas sehari-hari adalah media pembelajaran yang sangat kaya, tak terkecuali momen Ramadan.Â
Sayangnya sejak tahun lalu, bulan Ramadan tidak dapat lagi kami lalui dengan aktivitas normal semisal pergi ke masjid untuk salat tarawih, dan mendaras Alquran hingga larut malam di masjid.
Padahal, sudah sejak lama kami berencana untuk menjadikan momen Ramadan sebagai pembelajaran kontekstual bagi anak-anak, terutama terkait ibadah. Sebab sejak tahun tahun lalu kedua anak kami sudah layak dan siap untuk diajak ke masjid tanpa khawatir mengganggu jamaah lain.
Kepada anak-anak, Alhamdulillah... saya tidak terlalu berat membentuk kebiasaan baik. Mereka meng-copy saja habit yang biasa mereka saksikan setiap hari oleh orang tuanya.
Kebiasaan salat misalnya, mereka menyaksikan sendiri orangtuanya selalu menyempatkan diri pergi ke masjid saat azan berkumandang. Lama-kelamaan, mereka ingin ikut dan saat sudah siap dan tidak membuat najis di masjid, saya selalu menggendong bersama untuk pergi melaksanakan salat secara berjamaah.
Kebiasaan ini juga berlaku untuk membaca, berdoa, dan mengaji. Jadi saya hanya 'bertaruh' untuk mendidik diri sendiri konsisten melakukan kebiasaan baik yang secara otomatis disaksikan anak-anak di rumah. Saat melakukannya pun, saya harus dengan riang gembira dan tidak seperti terbebani agar anak-anak menyaksikan bahwa segala yang dilakukan oleh orangtuanya adalah sesuatu yang menggembirakan.
Maka, saat momen Ramadan tiba, inilah momen yang pas untuk mendemokan secara besar-besaran dan kolosal di hadapan anak beragam ibadah kaum muslim. Di Ramadan inilah beragam ibadah mahdhah mewujud secara konkret dalam satu waktu: puasa, salat, tadarus Alquran, zakat, menutup aurat, sahur, buka, sedekah, dah beragam lainnya.
Inilah sebenarnya kesempatan besar mengajak anak 'bersekolah' secara konteks. Di sini jugalah biasanya saya akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang kontekstual bersamaan dengan kesaksian anak melihat sekitarnya.
Saat dibawa ke masjid, mereka akan bertanya mengapa salatnya jadi banyak? Saat berzakat mereka akan bertanya mengapa memberi beras ke orang, dan bukan makanan yang sudah masak? Saat malam hari, mereka akan bertanya kok banyak orang mengaji dan lebih disiplin memakai mukena bagi ibu-ibu?
Pertanyaan yang muncul sebagai respon dari trigger sekitarnya, membuat saya sebagai orangtua dan teman mereka belajar menemukan momentum kontekstual untuk memberikan penjelasan tanpa perlu dihafal atau direka-reka konteksnya.