Di awal-awal masa menulis di Kompasiana dulu, saya berusaha konsisten untuk hanya bisa menuliskan satu artikel sehari. Semata-mata hanyalah untuk latihan diri agar terus mengasah kemampuan mencari ide, lalu menuliskannya. Label tulisan hanyalah bonus atas kebiasaan saya. Kadang artikel pilihan, dan sulit sekali saat itu (buat saya) untuk menapatkan artikel utama (headline) Kompasiana.
Hingga dua bulan terakhir saat saya mencoba kembali menulis secara rutin di Kompasiana (selain juga harus menulis di tempat lain) bertubi-tubi label artikel utama itu menghampiri. Mulai dari ulasan buku, ulasan terkait isu whatsapp, penjelasan tentang big data, hingga artikel terkait salah satu penulis kondang Haruki Murakami. Semuanya diganjar label Artikel Utama. Suatu kondisi yang dulu saya idam-idamkan saat mulai menulis di Kompasiana.
Namun, apa yang terjadi? Ganjaran baik ini jika tidak dimaknai dengan benar, justru dapat menjadi efek buruk.
Setidaknya seminggu terakhir ini saya dihantui untuk 'menulis harus bagus agar terus dapat label artikel utama'. Hantu ini melayang-layang di kepala saya hingga muncul ketakutan untuk mulai menuliskan sesuatu. Tiba-tiba hantu ini menjadi sosok horor yang menakutkan. Takut kualitas tulisan tidak sebaik sebelumnya. Takut tidak mendapatkan label artikel utama lagi. Takut ide yang disampaikan tidak 'berbobot'. Dan beragam ketakutan lainnya. Hasilnya apa? Saya tidak dapat menulis satu artikel sama sekali!
Hingga akhirnya saya menemukan ulasan dari salah satu coach yang saya pernah belajar kepadanya, Darmawan Aji. Dalam artikel ini, kata 'harus' dan 'seharusnya' memang dapat menjadi belenggu diri yang berakhir pada penundaan. Sama seperti self-talk yang saya ceritakan tadi. Saya menuntut 'harus' menghasilkan tulisan berkualitas artikel utama. Padahal di awal saya niat menulis hanyalah agar terus menulis dan melatih kemampuan menulis. Itu saja.
Saya merasakan ada yang tidak beres. Menulis untuk bahagia, menjadi menulis karena beban.
Saya kemudian membaca-baca kembali buku Aku Menulis maka Aku Ada karya Kang Maman (ulasan nya pernah saya tulis di sini). Dari sana saya diingatkan kembali bahwa menulis itu bisa dimulai dari mana saja, dan atas kejadian apa saja. Bahkan atas lintasan pikiran apapun. Termasuk atas 'kesulitan menulis' dan kebuntuan ide untuk menulis.
Saya belajar kembali 'bagaimana menulis'. Saya belajar kembali bagaimana mencari ide, merangkai kata, dan menyajikan menjadi sebuah sajian artikel yang tetap menarik. Semampu kita.
"Merenungi kertas kosong di depan mata yang menatap nanar dan kosong, sungguh tak akan menghasilkan apa-apa. Dibanding (dengan) menulis di atas kertas itu, apa saja! Meski tulisan itu buruk sekali." begitu kata Kang Maman.
Saya pun kemudian teringat kembali dengan buku Puthut EA yang berjudul Buku Catatan untuk Calon Penulis. Saya buka kembali catatan saya terkait buku ini (bisa dibaca di sini). Dan lagi-lagi, saya diingatkan kembali dan tersentak dengan salah satu quotenya:
Masalah utama seorang penulis adalah menulis. Maka mulailah menulis. Menulis tentang apa saja. Bebaskan diri Anda. Hilangkan semua kekhawatiran. Hapus cepat kata 'jangan-jangan' dari pikiran Anda. Mulailah...
Tugas seorang penulis adalah menulis. Dia seharusnya tak terbebani dengan bayangan apapun di kepalanya. Apalagi penulis yang masih belajar seperti saya.
Banyak teori dan buku tentang menulis yang telah saya lahap. Dan jurus paling ampuh untuk belajar menulis adalah: menulis, menulis, menulis!
Dengan menjalani laku menulis, kita akan terbiasa mencari ide, menentukan sudut pandang, merangkai kata, dan menyusun argumen. Dan semua itu tidak bisa hanya dipikirkan dan dibaca dari buku-buku teori, melainkan harus dipraktikkan!
Maka, untuk menghilangkan beban 'harus menjadi artikel utama' yang mengakibatkan penundaan menulis terus menerus, saya memutuskan untuk menerapkan salah satu jurus anti penundaan: memperjelas niat.
Sejak awal, saya hanya berniat menulis untuk melatih diri agar terus menulis, menyumbang konten positif di jagat internet, dan mengabadikan apa yang telah saya pelajari sebagai wujud rasa syukur pada Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan akses untuk belajar. Penghargaan, apresiasi, dan segala bentuk atribut hanyalah prioritas ke sekian.
Jadi, mengapa saya harus terbebani oleh hal yang bukan prioritas?Â
Saya belajar bahwa setiap peristiwa adalah netral, baik atau buruk tergantung kita memaknai dan meresponnya. Diganjar artikel utama jelas membahagiakan. Namun jika berefek menjadi takut untuk terus menulis, bukankah ini menjadi buruk?
Maka, ayo terus menulis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H