Bagi book lover, membaca karya Haruki Murakami berarti telah masuk pada suatu kasta pembaca sastra elit. Bukan lagi kasta teenlit. (eh..)
Cara bertutur Murakami memang khas. Ia bisa berlama-lama menceritakan sebuah situasi yang dapat dinikmati panca indera, walau hanya dari tulisan. Di lain bagian, ia bisa membuat cerita yang tampaknya tidak logis tapi membuat pembacanya 'iya iya' saja.
Saya sendiri sebagai seorang book lover, haruslah berusaha masuk ke kalangan pembaca sastra elit ini (uhuk). Maka mulailah saya membeli meminjam buku Murakami dari kawan saya.
Dimulai dari karya legendarisnya yang ditulis tahun 1987 berjudul asli Noruwei No Mori yang edisi terjemahan Indonesianya sudah dapat kita nikmati berjudul Norwegian Wood. Di awal membaca novel ini, saya sempat 'menyerah' dan berhenti di halaman-halaman awal. Alurnya terasa sangat lambat sedangkan stock halamannya masih banyak. Tebal sekali. 'Kapan kelarnya?' pikir saya.
Tapi demi bisa masuk ke kalangan pembaca sastra elit dan dapat segera pamer di instastory IG, maka saya kuat-kuatkan membaca hingga selesai.
Supaya penilaian saya terhadap karya Murakami agak-agak valid, maka saya lanjutkan dengan mencoba membaca karya novel pertamanya yang berjudul Kaze no uta o kike.
Berbeda dengan novel yang pertama saya baca, novel ini tipis belaka. Hanya 110an halaman. Versi terjemahannya berjudul Dengarlah Nyanyian Angin.
Setelah membaca dua karya beliau ini, saya putuskan untuk memberikan 'wawasan' kepada calon pembaca Murakami yang masih mau mencoba menikmati karyanya agar lebih siap.
Berikut ini hal-hal yang jamak muncul di karya-karya Murakami:
1. Referensi lagu-lagu klasik
Murakami senang sekali menyelipkan detil lagu-lagu yang didengarkan oleh para tokoh di dalamnya. Lagu yang dipilih tentu bukan lagu Black Pink atau BTC tapi lagu-lagu hits sesuai dengan latar waktu cerita. Mulai dari Scarborough Fair-nya Simon & Garfunkel, Honeysuckle Rose-nya Thelonious Monk, dan Blue Velvet-nya Lee Moris yang gak banyak orang tahu. Termasuk saya juga baru tahu. Hingga yang agak terkenal seperti Norwegian Wood-nya The Beatles dan Close to You-nya Burt Bacharach.
Bahkan, tiga judul novel Murakami diambil dari lagu: Dance, Dance, Dance (dari The Dells), Norwegian Wood (dari lagu The Beatle) dan South of the Border, West of the Sun (dari lagu South of the Border).
Jika kita coba membaca novel sambil mendengarkan lagu yang sedang disebutkan dalam cerita, memang nuansa cerita semakin terasa. Saya curiga, Rectoversonya Dewi Lestari dan album bukunya Fiersa Bestari terinspirasi dari cara Murakami meracik cerita.
2. Referensi buku-buku
Saya baca di artikel tentang buku Semesta Murakami, memang tampak sekali Murakami adalah seorang pembaca buku yang sangat aktif sejak kecil. Dia menjadikan bacaan-bacaannya ini sebagai referensi meramu tulisannya di kemudian hari.
Nah, dalam novel-novelnya, Murakami juga acap kali memasukkan buku-buku bacaan yang diset sedang dibaca oleh para tokohnya.
Di novel karya penulis lain, jarang sekali menuliskan buku judul apa yang sedang dibaca. Jikapun harus memunculkan cerita seorang tokoh sedang membaca buku, hanya menyebutkan tema bukunya saja. Tapi di novel-novel karya Murakami, judul hingga penulis buku disebut dengan presisi.
Membaca novel Murakami jadi 'tahu' bocoran buku-buku favorit yang pernah dibacanya.
3. Kematian dan bunuh diri
Dalam setiap ceritanya, kecenderungan Murakami memang memotret kehidupan remaja Jepang pada saat tahun-tahun latar cerita itu diciptakan.
Dan dari sini juga saya akhirnya semakin yakin dan tergambar dengan baik bahwa kematian dan bunuh diri adalah hal yang wajar belaka, terutama dalam kehidupan pemuda Jepang.
Hampir di setiap karya Murakami, selalu ada cerita kematian kawan dekat atau kenalan dari tokoh utama. Kematian ini kemudian mempengaruhi mental dan proses berpikir tokoh dalam kelanjutan cerita.
Kematian dengan cara bunuh diri jamak dijadikan penyebab. Nuansa yang tergambar pun tampak bahwa bunuh diri adalah sebuah pilihan yang biasa-biasa saja dan dapat diambil oleh siapapun di Jepang.
Maka tak heran jika di masa pandemi seperti sekarang ini, angka bunuh diri di Jepang mengalami kenaikan kembali dalam sebelas tahun terakhir.
4. Ngebar ngebir
Yang bagian ini saya agak mahfum, maklum saja Jepang bukanlah negara muslim yang mengharamkan minuman alkohol. Namun tetap saja, pribadi saya yang polos ini jadi agak mengernyitkan dahi melihat cerita yang dikit-dikit pergi ke bar untuk kemudian ngebir.
Terus terang, kemunculan bir dan whiskey hampir mendominasi di keseluruhan cerita dan menjadi bagian sehari-hari yang acap dimunculkan. Nuansa ini berbeda jika saya membaca karya penulis asing lain yang menjadikan bir sebagai properti pelengkap cerita saja dan tidak selalu muncul dalam hampir setiap adegan.
5. Seks
Nah ini yang paling menarik: dikit-dikit seks... dikit-dikit seks. Dari membaca karya Murakami saya jadi kok yakin salah satu cara problem solving remaja Jepang adalah dengan seks! Baru kenal di bar, diajak seks. Teman nongkrong bareng, berujung seks. Sama-sama stress, kemudian pemecahannya adalah seks.
Bahkan, remaja Jepang tampaknya selalu menghitung dan mengarsipkan siapa saja yang pernah mereka tiduri selama hidupnya berikut dengan cerita yang melatarbelakanginya masing-masing.
Novel-novel Murakami memang kebanyakan untuk pembaca dewasa. Ketelanjangan, alat vital, dan organ-organ aurat sering dimunculkan secara vulgar di sana-sini.
Tapi tenang, novel Murakami bukanlah novel stensil ala Enny Arrow. Cuma ya itu tadi, kita harus open minded dan memang tidak untuk pembaca yang masih 'bocah'. Hehe.. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H