Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Perjumpaan Saya dengan Puisi yang Menggetarkan

19 Februari 2021   10:01 Diperbarui: 22 Februari 2021   02:54 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan masa kecil saya termasuk minim terpapar kesenian dan sastra. Saya hidup di lingkungan kampung yang jarang sekali penduduknya mengenyam pendidikan tinggi. Rata-rata adalah lulusan sekolah menengah yang kemudian lanjut bekerja. Saya tinggal di pinggiran Kota Pasuruan.

Aktivitas harian kami adalah: pagi hari sekolah bagi yang memang niat bersekolah, atau bolos sekolah bagi yang memang tidak niat sekolah. Biasanya mereka akan pergi ke ladang kosong di tengah persawahan, atau nongkrong saja di bangunan-bangunan kosong. Saya tidak tahu apa aktivitasnya, karena saya tidak pernah ikutan.

Selepas waktu sekolah, semua anak-anak akan pulang ke rumah masing-masing. Baik yang tadi memang benar telah belajar di sekolah, maupun bolos sekolah. Semua akan ber-acting telah lelah seharian belajar di sekolah.

Siang hingga sore biasanya kami habiskan dengan bermain bola di lapangan, mandi di sungai, atau permainan analog lainnya semisal bendan, gobak sodor, jumpritan, main gambaran, dll.

Menjelang maghrib semua anak akan pulang ke rumah masing-masing untuk mandi dan persiapan pergi ke musala. Kami akan menghabiskan waktu maghrib hingga isya untuk belajar mengaji Alquran kepada ustad di kampung. Belum ada buku Iqro kala itu.

Kami akan 'setor bacaan' per halaman sehari mulai dari mengeja alif ba' ta' hingga bertahun-tahun kemudian sampai An-Nas. Jika tergolong pintar, maka bisa dapat bonus dua atau tiga halaman. Jika tak lancar lancar juga membaca, satu halaman ini bisa diulang-ulang hingga dua-tiga hari.

Tak banyak yang bertahan menjalani 'laku tirakat' seperti ini. Biasanya akan mrothol di tengah jalan. Alasannya beragam, mulai dari sudah tak tahan mengulang-ulang terus hingga bosan, tergoda lebih baik main Play Station, atau memang karena aktivitas sekolah yang menyita waktu.

Seingat saya, saya termasuk yang 'kuat' menjalani 'laku tirakat' ini. Berhasil khatam pertama kali Alquran dan dirayakan dengan syukuran di musala bersama teman-teman lain yang juga sudah berhasil membaca Alquran secara talaqqi hinnga lembar terakhir.

Singkat cerita, para pengajar dan guru-guru saya baik di musala maupun di sekolah, tak ada yang menunjukkan cita rasa sastra kepada saya. Tak ada yang benar-benar pernah bercerita tentang 'indahnya' sastra dan bagaimana cara menikmatinya.

Para guru biasanya hanya mengenalkan saja apa itu puisi, prosa, cerita sastra dan lain sejenisnya semata-mata kewajiban kurikulum. Akibatnya, saya pun tidak pernah tertarik dan tak bisa menikmati sebuah karya sastra.

Meski pernah, pada saat saya mengikuti lomba pemilihan pelajar teladan tingkat SMP se-kota, saya memilih menulis dan membacakan puisi buatan saya sendiri sebagai uji tunjuk kesenian yang dimiliki peserta.

Ini pun karena kewajiban semua peserta harus mempertunjukkan satu kesenian dan saya memilih menulis dan membacakan puisi karena semata-mata itu yang paling mudah saya persembahkan tanpa latihan berlama-lama.

Saya memiliki kesan 'mudah' membuat puisi tersebab setelah tak sengaja menemukan puisi berjudul Ping Pong, yang jauh belakangan saya ketahui bahwa itu karya penyair Sutardji Calzoum Bachri. Anggapan saya kala itu puisi Ping Pong itu sederhana saja, cuma permainan kata berbunyi yang diulang-ulang. Akhirnya saya 'menciptakan' karya sendiri sejenis berjudul Tik Tok. Itu terjadi kala tahun 2002 jauh sebelum adanya aplikasi TikTok.

Tak ada kesan indah kala itu. Hati saya pun tak bergetar saat membacakan puisi itu. Datar-datar saja.

Sampai suatu ketika saat saya mahasiswa di Universitas Airlangga, saya berkesempatan mengikuti seminar (saya sudah lupa seminar apa) yang menghadirkan Zawawi Imron sebagai salah satu pembicaranya. Di akhir acara, panitia mempersilakan Zawawi Imron untuk membacakan puisinya, dan kala itulah hati saya bergetar. Saya tersadar, bahwa puisi yang saya duga dulu hanya deretan bait kata-kata biasa yang mati, ternyata bisa sebegitu magis membuat pendengar menggelinjang dan terasa memiliki nyawa.

Di saat itulah 'perjumpaan saya dengan puisi' dimulai. Sejak saat itu juga, cara pandang saya terhadap puisi tidaklah sama. Saya lebih menghargai setiap menemukan karya puisi dan saya mulai belajar dan membiasakan diri menikmati puisi.

Sayangnya saya sudah lupa judul puisi yang dibacakan kala itu. Yang teringat di kepala saya adalah, sebuah karya puisi bisa seindah ini dibawakan oleh Sang Maestro. Dan Zawawi Imron, Si Clurit Emas itu, adalah salah satu orang yang memiliki gaya membaca puisi yang saya kagumi hingga saat ini.

Tak lama setelah itu, saya berkesempatan menyaksikan pertunjukan duo seniman bersaudara asal Jogja berjudul Sarimin. Sebenarnya ini pertunjukan monolog Butet Kertaradjasa yang dalam aksinya mengajak sang adik Djaduk Ferianto sebagai penata musiknya. Seingat saya, ini adalah pertunjukan kesenian 'betulan' dan termahal yang pernah saya hadiri. Saya harus mengorbankan uang jajan bulanan saya untuk bisa membeli tiketnya.

Pertunjukan ini digelar di gedung kesenian Cak Durasim, Surabaya pada tahun 2007. Sebuah kesenian monolog yang tentunya hanya Butet Kertaradjasa (sebagai Sarimin) sebagai pemeran satu-satunya dalam seluruh rangkaian cerita. Karena sendirian, tentu dalam beberapa bagian, Sarimin membacakan puisi sebagai bagian cerita yang diusung. Dan di sini pula saya menyaksikan bahwa puisi memang sebuah karya seni 'betulan'.

Jika di perjumpaan pertama saya, Zawawi Imron hanya membacakan satu puisi bertema cinta dan semangat, Butet kali ini membawakan puisi dengan beragam tema.

Kemampuan acting Butet digunakannya untuk membaca beragam puisi. Puisi-puisi bertema sedih, senang, kecewa, haru, berkabung, dan bergelora bisa dengan sangat menarik dinikmati dan membuat pendengar terhanyut dalam setiap baris katanya.

Saya masih ingat sampai sekarang, betapa, sebuah puisi dapat saya nikmati dengan beragam panca indera saya. Puisi bisa digunakan sebagai pelampiasan kesadaran, rasa, cita rasa, kegundahan, dan kekaguman yang sedang kita rasakan.

Beberapa puisi yang telah saya ciptakan antara lain Peci Hitam, Hidangan Teh Istimewa Tuan, Rumus Bertempur, dan Satu Tembakan Lagi.

Terakhir, bulan lalu saya baru saja mengikuti lomba cipta dan baca puisi. Puisi saya berjudul Semua Punya Satu-Satu masuk ke dalam top ten kontestan yang kemudian dibukukan menjadi sebuah antologi berjudul Sebuah Amin Termukjizat.

Terima kasih untuk Zawawi Imron dan Butet Kertaradjasa. (*)

Buku Antologi Puisi yang memuat salah satu puisi saya berjudul Semua Punya Satu-Satu/dokpri
Buku Antologi Puisi yang memuat salah satu puisi saya berjudul Semua Punya Satu-Satu/dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun