Kehidupan masa kecil saya termasuk minim terpapar kesenian dan sastra. Saya hidup di lingkungan kampung yang jarang sekali penduduknya mengenyam pendidikan tinggi. Rata-rata adalah lulusan sekolah menengah yang kemudian lanjut bekerja. Saya tinggal di pinggiran Kota Pasuruan.
Aktivitas harian kami adalah: pagi hari sekolah bagi yang memang niat bersekolah, atau bolos sekolah bagi yang memang tidak niat sekolah. Biasanya mereka akan pergi ke ladang kosong di tengah persawahan, atau nongkrong saja di bangunan-bangunan kosong. Saya tidak tahu apa aktivitasnya, karena saya tidak pernah ikutan.
Selepas waktu sekolah, semua anak-anak akan pulang ke rumah masing-masing. Baik yang tadi memang benar telah belajar di sekolah, maupun bolos sekolah. Semua akan ber-acting telah lelah seharian belajar di sekolah.
Siang hingga sore biasanya kami habiskan dengan bermain bola di lapangan, mandi di sungai, atau permainan analog lainnya semisal bendan, gobak sodor, jumpritan, main gambaran, dll.
Menjelang maghrib semua anak akan pulang ke rumah masing-masing untuk mandi dan persiapan pergi ke musala. Kami akan menghabiskan waktu maghrib hingga isya untuk belajar mengaji Alquran kepada ustad di kampung. Belum ada buku Iqro kala itu.
Kami akan 'setor bacaan' per halaman sehari mulai dari mengeja alif ba' ta' hingga bertahun-tahun kemudian sampai An-Nas. Jika tergolong pintar, maka bisa dapat bonus dua atau tiga halaman. Jika tak lancar lancar juga membaca, satu halaman ini bisa diulang-ulang hingga dua-tiga hari.
Tak banyak yang bertahan menjalani 'laku tirakat' seperti ini. Biasanya akan mrothol di tengah jalan. Alasannya beragam, mulai dari sudah tak tahan mengulang-ulang terus hingga bosan, tergoda lebih baik main Play Station, atau memang karena aktivitas sekolah yang menyita waktu.
Seingat saya, saya termasuk yang 'kuat' menjalani 'laku tirakat' ini. Berhasil khatam pertama kali Alquran dan dirayakan dengan syukuran di musala bersama teman-teman lain yang juga sudah berhasil membaca Alquran secara talaqqi hinnga lembar terakhir.
Singkat cerita, para pengajar dan guru-guru saya baik di musala maupun di sekolah, tak ada yang menunjukkan cita rasa sastra kepada saya. Tak ada yang benar-benar pernah bercerita tentang 'indahnya' sastra dan bagaimana cara menikmatinya.
Para guru biasanya hanya mengenalkan saja apa itu puisi, prosa, cerita sastra dan lain sejenisnya semata-mata kewajiban kurikulum. Akibatnya, saya pun tidak pernah tertarik dan tak bisa menikmati sebuah karya sastra.