Kejadian yang tidak masuk akal akan terjadi di US Capitol kemarin bisa dilihat dari peran media sosial yang tegah menjadi trend saat ini. Secara tidak sadar, algoritma sosial media yang awalnya didesain untuk kebaikan bagi para penggunanya, justru malah makin memperuncing polarisasi perbedaan.
Gambaran dari film dokumenter The Social Dilemma yang dirilis pada September 2020 lalu menjelaskan dengan gamblang bagaimana peran Artificial Intelegence dan Machine Learning yang dipasang pada algoritma media sosial menjadikan para pengguna seperti hidup di dunianya sendiri.
Meskipun kita sama-sama menggunakan facebook, twitter, atau instagram misalnya, tampilan linimasa (feed timeline) kita pastilah berbeda. Apa-apa yang muncul pada linimasa kita adalah filter dari aktivitas kita sebelumnya ditambah dengan rekomendasi hasil algoritma yang diinjeksi untuk menentukan konten sejenis yang kita sukai.
Kita pernah di masa itu, ketika polarisasi masyarakat terjadi begitu kuat saat gelaran pilpres.
Kita kembali ke belakang. Bayangkan dulu kita atau kawan-kawan kita begitu menggebunya membela mati-matian calon presiden pilihan masing-masing. Mereka menggunakan beragam argumen yang didapatkan dari lini masa media sosialnya untuk menjustifikasi bahwa pilihannya terbaik dan pilihan liyan adalah buruk.Â
Mereka lupa, bahwa semakin kita aktif menggunakan media sosial, echo chamber effect semakin terjadi. Akibatnya, informasi yang disuguhkan di hadapan kita hanyalah informasi yang memang kita inginkan, terlepas apakah informasi tersebut valid kebenarannya atau hanyalah hoaks.
Benar dan hoaks, algoritma media sosial tidak dapat membedakan. Sebagaimana dijelaskan oleh para programmer yang membangun aplikasi-aplikasi tersebut, algoritma yang dipasang hanyalah untuk menangkap aktivitas kita pada setiap konten dan menyuguhkan preferensi sejenis yang berkesuaian dengan minat pengguna.Â
Harapannya, mereka akan terus-terusan memakai aplikasi tersebut. Atensi kita inilah yang kemudian 'dijual' di 'pasar lelang iklan' kepada para pengiklan yang sebagian besar tentu para kapitalis.
Algoritma ini tidak memiliki 'norma dan agama' dan bersifat 'netral' sesuai dengan aturan main yang programmer injeksikan. Pada praktiknya, algoritma ini bisa ditunggangi dan digunakan untuk kepentingan apapun hingga sampai membentuk persepsi masyarakat banyak (mob) pada opini tertentu yang diinginkan.
Isu bahwa Rusia menunggangi pilpres US saat Trump terpilih pun sempat mencuat kala 2016. Setelah diselidiki, dugaan kecurangan itu kurang bisa dibuktikan, namun yang disimpulkan para pengamat social media adalah siapapun bisa menggunakan algoritma social media untuk mempengaruhi sekian banyak penduduk untuk memilih A dan atau membenci B.
Sekarang kita semua telah belajar, polarisasi atas suatu pilihan A dan B hasil dari giringan media sosial ternyata hanyalah sia-sia belaka. Pilihan pilpres Indonesia kemarin membuktikan bahwa A dan B tidak benar-benar menjadi oposisi biner.Â