Pasca era Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir 2015 lalu, saat ini Indonesia menandatangani dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development bersama 193 negara anggota PBB lainnya. Di dalam dokumen ini memuat isu-isu keberlanjutan yang kemudian lebih dikenal dengan Sustainability Development Goals (SDGs).Â
Pada prinsipnya, SDGs ini mengamanatkan kepada semua pemangku kepentingan baik pemerintahan maupun perusahaan/swasta agar memperhatikan keberlanjutan tiga dimensi utama: lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam setiap program dan gerak usahanya.
Ketiga dimensi itu kemudian ditopang dengan lima pondasi inti yaitu manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan kemitraan, yang mengerucut pada tiga goals utama yang ditargetkan tuntas di tahun 2030 yakni mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan, dan mengatasi perubahan iklim.
Agar tidak terkesan utopis, tiga goals itu kemudian dioperasionalisasikan dengan membuat 17 indikator pencapaian yang dari sinilah setiap stakeholder (pemerintah maupun swasta/perusahaan) hendaknya bersama-sama memenuhi target tersebut sesuai dengan kemampuan dan fokus masing-masing. Ketujuhbelas tujuan itu adalah (1) Menghapus kemiskinan, (2) Mengakhiri kelaparan, (3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan, (4) Pendidikan bermutu, (5) Kesetaraan gender, (6) Akses air bersih dan sanitasi, (7) Energi bersih yang terjangkau, (8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, (9) Industri, inovasi, dan infrastuktur, (10) Mengurangi ketimpangan, (11) Kota dan komunitas yang berkelanjutan, (12) Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, (13) Penanganan perubahan iklim, (14) Menjaga ekosistem laut, (15) Menjaga ekosistem darat, (16) Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat, dan yang terakhir (17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Di DKI Jakarta sendiri, salah satu isu penting yang mengemuka akhir-akhir ini adalah ketersediaan air bersih. Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro bahwa kondisi supply air di Jakarta dalam posisi gawat sekali, yakni dengan kebutuhan 28 kubik namun dengan tingkat persediaan hanya 18 kubik.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Imam Santoso juga memberikan data yang senada.Â
Imam menjelaskan bahwa dari jumlah penduduk Jakarta sebanyak 12 juta, baru 60% yang berlangganan air dari Perusahaan Air Minum (PAM) untuk kebutuhan pasokan air bersihnya. Selebihnya, penduduk memanfaatkan air tanah yang jika dibiarkan terus menerus akan berakibat penurunan permukaan tanah.
Di sisi lain, kondisi air tanah Jakarta juga dalam kondisi kritis. Data hasil pemantauan di cekungan air tanah (CAT) Jakarta yang dilakukan oleh Balai Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2015 menunjukkan bahwa untuk lapisan akuifer bebas (air yang yang berada di paling atas permukaan tanah) hanya 18% lokasi sumur yang mememuhi baku mutu sebagaimana disyaratkan dalam SK Menteri Kesehatan tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Air Minum. Â Data ini diambil dari uji sampel di 85 lokasi sumur berbeda di wilayah Jakarta.
Berkaca pada kondisi ini, maka segenap stakeholder di Jakarta perlu memberikan perhatian lebih pada ketersediaan air bersih bagi segenap penduduknya.Â
Hal ini juga sesuai dengan tujuan nomor 6 dari Sustainability Development Goals, yakni memastikan ketersediaan air bersih berikut juga sistem manajemen pengelolaannya, dan sanitasi. Artinya, perhatian stakeholder tidak hanya terhadap ketersediaan air saat ini, namun juga keberlanjutan bagi generasi-generasi mendatang.
Oleh karena itu peran strategis Pemerintah DKI dengan swasta perlu ditingkatkan agar dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan kekuatan masing-masing.Â
Pemerintah DKI harus mulai berani tegas memberlakukan pembatasan penggunaan air tanah, terutama bagi usaha besar seperti hotel, resoran, maupun pusat perbelanjaan modern. Harus segera diterbitkan payung hukum yang dapat memaksa dan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya.
Selain itu, Pemerintah DKI maupun PAM selaku operator penyediaan air bersih di Jakarta juga dapat bekerjasama dengan pihak swasta lain melalui penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dianggarkan setiap tahunnya.Â
Cara ini dapat dijadikan akselerator permasalahan utama rendahnya akses air bersih dari PAM di Jakarta, yakni sistem perpipaan yang belum menjangkau banyak lokasi di Jakarta.
Dari sisi ini, Bank DKI sebagai salah satu perusahaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dapat memainkan peran strategisnya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Jakarta, khususnya terkait dengan ketersediaan air bersih.
Beberapa alternatif pemanfaatan dana CSR Bank DKI dalam rangka penanganan ketersediaan air bersih di Jakarta antara lain:
Penyediaan Sistem Perpipaan Distribusi Air Produksi PAM
Bank DKI dapat memanfaatkan dana CSRnya untuk segera melakukan proses pipanisasi yang selama ini menjadi kendala utama beberapa lokasi yang menjadi kantong masyarakat namun kesulitan mendapatkan air bersih. Langkah ini harus segera dilakukan agar air produksi PAM dapat dinikmati masyarakat yang selama ini belum bisa mengakses ari bersih.
Bank DKI dapat bekerjasama dengan operator yang sudah terbukti menjalankan usahanya dalam penyediaan air minum di Jakarta seperti PAM Jaya, PALYJA, AETRA, dan PD PAL Jaya.
Revitalisasi Danau dan Sungai
Setidaknya ada lima danau/waduk besar di Jakarta yang dapat digunakan sebagai sarana penjaga air sekaligus dapat dijadikan media integrated water management.Â
Danau/waduk itu antara lain Setu Babagan, Situ Lembang, Danau Sunter, Waduk Ria Rio, dan Waduk Pluit. Dengan kondisi danau yang baik dan terjaga, maka pasokan air dapat diharapkan berkesinambungan, juga meminimalkan dampak banjir jika terjadi curah hujan yang tinggi.
Jika dikelola dengan baik, integrasi danau dan sungai yang sudah direvitalisasi ini akan berguna sebagai sumber bahan baku air bersih bagi masyarakat Jakarta.
Pengadaan Alat Pengelola Air SWRO dan BWRO
Daerah-daerah yang berdekatan atau dikelilingi dengan air laut memiliki problem dilematis tersendiri. Umumnya, sambungan air PAM tidak menjangkau di daerah ini seperti daerah-daerah di gugusan Kepulauan Seribu.Â
Kondisi ini dikarenakan besarnya biaya yang harus diadakan oleh PAM yang tidak sebanding dengan potensi keuntungan yang didapat, atau jikapun terpaksa mengambil air tanah, lokasi merekalah yang paling terdampak serius jika terjadi banjir rob akibat semakin menurunnya ketinggian tanah. Padahal jumlah mereka juga signifikan besarnya.
Solusi atas ini adalah dengan dibuatkannya sistem pengelolaan air menggunakan Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) yang bisa diterapkan di beberapa pulau besar di Kepulauan Seribu. SWRO adalah sebuah unit sistem desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air tawar bersih.
Sementara itu, untuk daerah di sepanjang pesisir Jakarta, dapat menggunakan pengelolaan air Brackish Water Reverse Osmosis (BWRO). Sistem ini cocok karena dapat mengubah air payau yang persediaannya melimpah di daerah pesisir menjadi air minum yang kualitasnya lebih baik daripada air kemasan.
Unit sistem ini memang berharga cukup mahal, namun layak untuk digunakan sebagai solusi jangka panjang penyediaan air minum dan air bersih bagi masyarakat yang selama ini paling rentan keadaannya.
Pengadaan Teknologi Nano Bubble
Mengutip penjelasan peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rachmat Fajar Lubis, DKI Jakarta dapat memanfaatkan teknologi nano bubble untuk menciptakan air bersih yang disulap dari air bekas (used water).Â
Rahmat menyebutkan bahwa kebutuhan akan air bersih di Jakarta pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 1.280.770 meter kubik, padahal di saat yang sama Jakarta bisa menghasilkan air dengan jumlah 2.340.916 meter kubik, artinya kebutuhan Jakarta dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri, hanya saja pasokan air ini belum tergolong air bersih dan masih perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut agar memenuhi standar dapat digunakan oleh manusia.
Perbaikan Mangrove di Daerah Pesisir
Berdasarkan penjelasan Sekretaris Jenderal Koalisi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, proyek reklamasi di Teluk Jakarta telah menghancurkan kawasan hutan mangrove yang sebelumnya lestari dan kini hanya menyisakan sekitar 2% saja dari kondisi semula.Â
Kerusakan hutan mangrove ini mengakibatkan pencemaran air tanah oleh air laut. Kondisi ini akhirnya memperparah ketersediaan air bersih di wilayah pesisir Jakarta.
Maka, perbaikan mangrove ini sekaligus melindungi ketersediaan air bersih yang sudah ada di tanah bagian sepanjang pesisir pantai Jakarta. Hal ini pun selaras dengan arah dan fokus utama program CSR Bank DKI yang salah satunya adalah bidang lingkungan hidup.
***
Jika Bank DKI, melalui program CSRnya, berkomitmen mengambil beberapa langkah alternatif di atas, sungguh akan menjadi langkah solutif yang menjawab permasalahan pokok warga Jakarta sekarang.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun akan lebih mudah mencapai targetnya di tahun 2030, yakni semua penduduk harus sudah mendapatkan akses air bersih dengan tidak perlu lagi mengambil air tanah secara langsung.
Langkah ini pun seiring seirama dengan target Indonesia terkait SDGs sebagaimana tertuang dalam Perpres 59 Tahun 2017. Dalam perpres tersebut, pemerintah berharap peran serta pelaku usaha dalam pencapauan tujuan pembangunan berkelanjutan bersama-sama dengan pemerintah daerah dan segenap unsur masyarakat lainnya.
Maka tepat, prioritas penggunaan anggara CSR Bank DKI dalam mengatasai masalah air ini seperti sekali dayung, lima pulau terlewati: Realisasi anggaran CSR yang tepat sasaran; Memberikan solusi akses air bersih kepada masyarakat Jakarta; Menghentikan pengguanaan air tanah yang semakin kritis; Membantu pemenuhan target Pemerintah Daerah DKI Jakarta; dan sekaligus mensukseskan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pemerintah Pusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H