Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Masih Enggan Nulis? Satu Alasan Ini Sudah Cukup!

21 Agustus 2019   12:09 Diperbarui: 21 Agustus 2019   12:23 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis adalah melanjutkan estafet ilmu | Dok. pribadi

Di pertemuan pertama kemarin, Om Bud menekankan manfaat menulis, dan yang paling membuat saya tersadar adalah Meninggalkan Legacy. Artinya, dengan menulis kita meninggalkan warisan pelajaran, sari pengalaman, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah kita renungkan hasil sintesis selama masa hidup untuk dinikmati anak cucu kita.

Estafet kebijaksanaan keluarga kita jadi tidak berhenti hanya dikarenakan orangtua telah dipanggil menghadap-Nya. Kita bisa menggali kembali, mengambil pelajaran, dan tidak mengulangi kesalahan apa yang dilakukan orangtua atau kakek nenek kita. Bahkan jika kebiasaan menulis ini bertahan dalam beberapa generasi, maka kita benar-benar masih bisa belajar dari leluhur dan nenek moyang kita langsung. Sambil menikmati secara romantis kehidupan mbah buyut kita.

Jika Anda pernah membaca buku Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya, di sana digambarkan dengan cantik betapa urgen dan perlu-nya meninggalkan pesan-pesan bijaksana untuk anak keturunan.

Dalam buku yang sudah diadaptasi menjadi film tersebut diceritakan bahwa Sang Bapak sudah divonis memiliki waktu terbatas karena sakit yang dideritanya, padahal anak-anaknya masih kecil. Maka Si Bapak berinisiatif merekam secara audio visual pesan-pesan yang ingin disampaikan pada anaknya dengan harapan dapat diputar kembali dikala mereka sudah beranjak dewasa.

Dan tepat sekali, meski Si Bapak akhirnya meninggalkan keluarga kecil itu, anak-anaknya masih mendapatkan pesan-pesan bijak dan nasihat yang sangat berguna kala mengarungi kehidupan. Hubungan yang biasanya sudah dingin karena ditinggal wafat orangtua, menjadi tetap hangat karena masih ada 'saluran cerita' yang bisa dinikmati anak-anaknya.

Baca juga: Lebih Produktif dengan Teknik Membaca Buku: SOPIR

Lebih lanjut Om Bud mencontohkan, betapa senangnya saat anak cucu kita bisa membaca catatan perjalanan kakeknya yang suka naik vespa keliling Indonesia, "Wah.. kakekku ternyata seorang traveler pemberani, naik vespa keliling Indonesia." Seru cucu kita kira-kira.

Atau bahkan hal spesifik semisal, "Wah... ternyata nenekku dulu seorang analis saham meski di rumah saja mengurus anak-anaknya."

Bayangkan itu terjadi pada diri kita, pasti sangat exited membaca catatan-catatan pengalaman kakek nenek kita. Kita senang mendengarkan cerita kakek nenek kita, mengapa tidak kita coba juga bercerita untuk anak cucu kita nanti?

Jika membuat video seperti di film Sabtu Bersama Bapak terlalu sulit dan rumit, mengapa tidak kita mulai dengan membuat tulisan. Menulis saja hal-hal yang menarik perhatian kita, atau menulis pengalaman, ilmu, dan hasil perenungan kita. Minimal anak cucu kita akan sangat gembira membacanya, syukur-syukur jika orang banyak juga mendapatkan manfaat dari tulisan kita.

Menulis itu mudah. Tidak percaya? Buka saja buku catatan atau file Microsoft Word baru, lalu tuliskan apa yang ada di kepala kita. Masih kesulitan? Coba buat tulisan yang diawali dengan pertanyaan,

"Jika saya punya mesin waktu, maka saya akan melakukan?" *)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun