Medio 2007 saya pertama kali bertemu dengan buku ini. Dikenalkan oleh dosen saya kala itu sebelum akhirnya Beliau menempuh pendidikan 'marathon' Magister di Polandia dan Doktor di Rusia tanpa putus.
Dalihnya, inilah buku 'tipis' yang secara efektif mengenalkan sekaligus menceritakan perjalanan pemikiran filsafat barat sebagai pengantar sekaligus pisau analisis yang berguna untuk digunakan selama masa perkuliahan saya nantinya.
Dan benar belaka, potongan ide-ide Rene Descartes, Juan Paul Starte, Friedrich Nietzsche, Immanuel Kant, hingga Plato dan Aristoteles yang saya curi baca dari buku serial filsafat karya Paul Strathern menjelang kelulusan masa-masa SMA dulu, mendapatkan 'alur kronologis'nya dan 'tempat duduknya' di jalinan cerita tesis-antitesis yang terbentuk.
Buku ini dulu saya pinjam dari perpustakaan dengan judul yang masih saya ingat sampai sekarang yakni Dilema Manusia Rasional. Namun beberapa hari ini saya bertemu kembali terbitan barunya oleh Gramedia dengan perwajahan lebih 'millenial' dan dengan judul lebih komplit "Dilema Usaha Manusia Rasional, Teori Kritis Sekolah Frankfurt -- Max Horkheimer & Theodor W. Adorno" karya salah satu penulis pilih tanding di bidangnya: Sindhunata.
Jelas saja kemudian saya serasa bernostalgia, berjumpa kembali dengan buku 'penting' dalam perjalanan belajar saya. Buku yang saya cari-cari di toko buku namun selalu kesulitan menemukannya. Ternyata benar, buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1982 dan baru dicetak kembali Juli 2019.
Buku ini dibagi menjadi enam bab, berturut-turut:
- Bab Pendahuluan;
- Latar Belakang Historis dan Teoritis Sekolah Frankfurt;
- Teori Kritis sebagai Teori Emansipatoris;
- Dilema Usaha Manusia Manusia Rasional: Dilema Usaha Manusia Rasional: Terbenamnya Akal Budi Objektif dan Terbitnya Akal Budi Instrumentalis;
- Dialektika Usaha Manusia Rasional: Usaha Manusia Rasional adalah Mitos; dan yang terakhir,
- Ekskursus Irasional Rasionalitas
Bab Pendahuluan adalah cerita Max Horkheimer muda usia 21 tahun pada 1916 yang gelisah menyaksikan buruh pabrik Ayahnya, Nyonya Katharina Krammer yang meminta izin tidak bisa masuk kerja karena penyakit ayan yang sedang diderita. Dari perenungan Horkheimer, dia merasakan sebagai pihak yang telah 'menghisap darah' Nyonya Katherina demi hidup tetirah nyaman bersama keluarga besarnya.
Bayangan ketidakadilan inilah yang tersemat di benak Horkheimer kala kemudian melanjutkan studi tentang filsafat. Desertasinya khusus membahas tentang pemikiran Immanuel Kant dan berhasil dipertahankannya dengan predikat lulus summa cum laude. Perjalanan intelektual Horkheimer kemudian berlanjut hingga terpilihlah dia menjadi direktur baru Sekolah Frankfurt. Di zaman Horkheimer lah, Sekolah Frankfurt mengalami masa keemasannya. (hal. 7)
Bab ini kemudian banyak membahas kondisi sosio-masyarakat dimana Sekolah Frankfurt berdiri, termasuk pertarungannya dengan ilmuan dan pemikiran ilmu pengetahuan yang berkembang kala itu. Sekolah Frankfurt seperti tertantang menjadi agen pemberi solusi di tengah permasalahan masyarakat Eropa kala itu, alih-alih hanya menjadikan ilmu filsafat sebagai 'khayalan' intelektual belaka tanpa memberi arti praktis.
Bab Dua kemudian membahas 'kronologis' teoritis Sekolah Frankfurt. Dalam Pidatonya, Horkheimer menekankan pentingnya filsafat sosial, yakni interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, namun sebagai anggota masyarakat (hal. 35). Filsafat haruslah memberikan solusi praktis bagi perbaikan nasib manusia, alih-alih hanya menjadi kaki tangan antek penindasan kelas penguasa.
Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (hal. 46). Namun pijakan awal itu kemudian semakin dimatangkan dengan kritisisme Immanual Kant dan memuncak pada dialektika Hegel yang dipadukan dengan psikoanalisis Sigmund Freud. Tentu modifikasi dan hasil 'olah pikir' ini semata-mata untuk menjawab tantangan zaman kala itu.
Kritisisme Immanuel Kant menitikberatkan bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat itulah akal budi manusia mengetahui sesuatu. Menurut Kant, suatu objek sejatinya tidak dapat kita ketahui apa sebenar-benarnya. Akal budi kitalah yang berperan sebagai subjek yang kemudian memberikan penafsiran atas objek tersebut. Maka, dengan cara demikian lah pengetahuan kita akan sesuatu itu terbentuk. Subjektif, bukan isi sejatinya objek tersebut.
Sekolah Frankfurt (SF) menghargai Kant, karena telah berhasil merumuskan bahwa otonom subjek (diri manusia) dapat membentuk pengetahuannya sendiri. Di sisi lain, SF juga memiliki kritik atas gagasan Kant ini. SF menilai Kant alpa melihat bahwa pengetahuan manusia itu terbentuk secara historis, alias tidak muncul di ruang hampa. Oleh karena itulah kemudian SF menyempurnakan dengan konsep dialektika Hegel.
Mudahnya, konsep Hegel-lah yang menjadikan pemahaman kritis ala Kant yang hanya di 'kepala' dan bersifat subjektif, menjadi dapat dioperasionalkan dan bersifat objektif melalui dialektika-dialektika yang ditemui di lapangan secara sadar.
Hegel mengetengahkan metode dialektika dengan 'empat proses dialogis': Pertama, berpikir secara totalitas, artinya semua unsur dipertimbangkan, baik yang kontradiksi, bernegasi, atau bermediasi. Kedua, menyadari bahwa semua hal yang kontradiksi, bernegasi, dan bermediasi itu nyata ada di alam realitas. Semua unsur itu harus saling bertarung dalam dimensi realitas yang dihadapi. Yang kemudian dipadukan dengan proses ketiga: bahwa 'kesimpulan' apa yang diambil haruslah dalam bingkai perspektif empiris-historis. Sekaligus mempertimbangkan proses keempat bahwa semua kerangka berpikir itu tetap dalam kerangka teori dan praxis.
Dengan inilah, Hegel 'menjamin' bahwa gagasan filsafat bisa dioperasionalkan secara nyata di lapangan alias applicable.
Yang patut diingat, semua proses kritisisme Kant dan dialektika Hegel bisa berjalan dalam pikiran sadar manusia. Oleh karena itulah SF era Horkheimer memasukkan psikoanalisa Freud dalam salah satu metode berpikirnya, meski diawal keputusannya ini menimbulkan kecaman dari kawan-kawannya.
Horkheimer sadar betul bahwa manusia akan berpikir sebagaimana kesadaran yang dimilikinya. Kala itu, prikoanalisa Freud-lah yang secara metodologis bisa menjelaskan 'alam kesadaran' manusia secara terstruktur.
Bab ketiga, kemudian SF membuktikan formulasi pemikirannya di medan tempur sesungguhnya. Di sinilah teori kritis yang dibangun SF harus mampu membuktikan dirinya tidak hanya menjadi 'teori di awang-awang' namun dapat benar-benar dijalankan dan menjadi media pelepasan belenggu dari permasalahan yang dihadapi manusia.
Aufklarung... Aufklarung... Di sinilah 'cerita' pencerahan bangsa Eropa itu dapat dilacak. Di bab ini diceritakan permasalah jamak yang dihadapi masyarakat Eropa kala itu yang terkungkung dalam dogma-dogma yang semakin kesini, semakin tampak pertentangan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan dari manusia rasional.
Bagaimana kemudian Sekolah Frankfurt 'kerja nyata' di tengah masyarakat. Mengangkat 'marwah' manusia di depan mesin produksi yang dimiliki pemilik modal sekaligus agen emansipatoris yang membuka belenggu-belenggu dogmatis irasional yang umum kala itu?
Akan dilanjutkan di tulisan berikutnya...
Identitas buku
Judul: Dilema Usaha Manusia Rasional, Teori Kritis Sekolah Frankfurt -- Max Horkheimer & Theodor W. Adorno
Pengarang: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I (sampul baru), Juli 2019
Tebal: 306 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H