Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (hal. 46). Namun pijakan awal itu kemudian semakin dimatangkan dengan kritisisme Immanual Kant dan memuncak pada dialektika Hegel yang dipadukan dengan psikoanalisis Sigmund Freud. Tentu modifikasi dan hasil 'olah pikir' ini semata-mata untuk menjawab tantangan zaman kala itu.
Kritisisme Immanuel Kant menitikberatkan bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat itulah akal budi manusia mengetahui sesuatu. Menurut Kant, suatu objek sejatinya tidak dapat kita ketahui apa sebenar-benarnya. Akal budi kitalah yang berperan sebagai subjek yang kemudian memberikan penafsiran atas objek tersebut. Maka, dengan cara demikian lah pengetahuan kita akan sesuatu itu terbentuk. Subjektif, bukan isi sejatinya objek tersebut.
Sekolah Frankfurt (SF) menghargai Kant, karena telah berhasil merumuskan bahwa otonom subjek (diri manusia) dapat membentuk pengetahuannya sendiri. Di sisi lain, SF juga memiliki kritik atas gagasan Kant ini. SF menilai Kant alpa melihat bahwa pengetahuan manusia itu terbentuk secara historis, alias tidak muncul di ruang hampa. Oleh karena itulah kemudian SF menyempurnakan dengan konsep dialektika Hegel.
Mudahnya, konsep Hegel-lah yang menjadikan pemahaman kritis ala Kant yang hanya di 'kepala' dan bersifat subjektif, menjadi dapat dioperasionalkan dan bersifat objektif melalui dialektika-dialektika yang ditemui di lapangan secara sadar.
Hegel mengetengahkan metode dialektika dengan 'empat proses dialogis': Pertama, berpikir secara totalitas, artinya semua unsur dipertimbangkan, baik yang kontradiksi, bernegasi, atau bermediasi. Kedua, menyadari bahwa semua hal yang kontradiksi, bernegasi, dan bermediasi itu nyata ada di alam realitas. Semua unsur itu harus saling bertarung dalam dimensi realitas yang dihadapi. Yang kemudian dipadukan dengan proses ketiga: bahwa 'kesimpulan' apa yang diambil haruslah dalam bingkai perspektif empiris-historis. Sekaligus mempertimbangkan proses keempat bahwa semua kerangka berpikir itu tetap dalam kerangka teori dan praxis.
Dengan inilah, Hegel 'menjamin' bahwa gagasan filsafat bisa dioperasionalkan secara nyata di lapangan alias applicable.
Yang patut diingat, semua proses kritisisme Kant dan dialektika Hegel bisa berjalan dalam pikiran sadar manusia. Oleh karena itulah SF era Horkheimer memasukkan psikoanalisa Freud dalam salah satu metode berpikirnya, meski diawal keputusannya ini menimbulkan kecaman dari kawan-kawannya.
Horkheimer sadar betul bahwa manusia akan berpikir sebagaimana kesadaran yang dimilikinya. Kala itu, prikoanalisa Freud-lah yang secara metodologis bisa menjelaskan 'alam kesadaran' manusia secara terstruktur.
Bab ketiga, kemudian SF membuktikan formulasi pemikirannya di medan tempur sesungguhnya. Di sinilah teori kritis yang dibangun SF harus mampu membuktikan dirinya tidak hanya menjadi 'teori di awang-awang' namun dapat benar-benar dijalankan dan menjadi media pelepasan belenggu dari permasalahan yang dihadapi manusia.
Aufklarung... Aufklarung... Di sinilah 'cerita' pencerahan bangsa Eropa itu dapat dilacak. Di bab ini diceritakan permasalah jamak yang dihadapi masyarakat Eropa kala itu yang terkungkung dalam dogma-dogma yang semakin kesini, semakin tampak pertentangan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan dari manusia rasional.
Bagaimana kemudian Sekolah Frankfurt 'kerja nyata' di tengah masyarakat. Mengangkat 'marwah' manusia di depan mesin produksi yang dimiliki pemilik modal sekaligus agen emansipatoris yang membuka belenggu-belenggu dogmatis irasional yang umum kala itu?