Mohon tunggu...
Tri Anbarsari
Tri Anbarsari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasisa

Don't forget to be grateful

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Cerita Pendek Film A Warmth

19 Juli 2022   22:50 Diperbarui: 19 Juli 2022   22:54 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memalukan" gumamku sambil berjalan di trotoar yang licin. Aku menyilangkan tanganku di depan dada agar terasa lebih hangat. Ini benar-benar dingin di musim dingin tahun ini. Saya melihat sekeliling, salju menutupi seluruh permukaan objek.

Aku berjalan semakin jauh dari rumah. Sementara, yang lain bersukacita dan tertawa di dalam rumah yang hangat dan nyaman, saya di sini sendirian melawan angin-angin. Bukannya saya benci berada di rumah, tetapi saya muak dengan cara keluargaku memperlakukanku. Saya tahu saya tidak bisa sendirian di rumah, jadi saya memutuskan untuk pergi keluar.

Ini semua karena adikku. Sebelumnya, ketika saya di rumah saya berniat membuat teh panas untuk bapak dan ibu saya. Saya menuangkan teh ke dalam dua cangkir favorit ibu dan bapak saya serupa. 

Cangkir tersebut sangat mahal dan antik. Ketika saya sedang membawa dua cangkir tersebut untuk bapak dan ibu saya, tiba-tiba adik saya menendang kaki saya. Tentu saja, cangkir itu terlepas dari tanganku dan akhirnya mengenai lantai yang keras. Kedua cangkir tersebut itu hancur berkeping-keping.

Saya dimarahi oleh kedua orang tua saya, terlepas dari alasan sebenarnya. Mereka membela adikku, itu sebabnya saya pergi keluar. Saya duduk di kursi panjang ketika sampai di taman. Saya hanya bisa melihat putih di taman ini.

PUGH. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. aku kaget dan langsung berbalik, dia adalah seorang pria yang wajahnya sangat familiar. Dia Gilang, sahabatku dan pria yang ku suka. "Hei Salma, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Gilang bingung. "Ehm...aku hanya jalan-jalan," kataku dengan alasan yang sederhana.

Gilang terkekeh lalu dia berjalan ke depan kursi lalu dia duduk di sebelahku. "Salju turun, dan dingin membeku, apakah jalan-jalan merupakan alasan yang baik untuk menjawab pertanyaanku?" Gilang bertanya, lalu tertawa lagi. "Kenapa kau tidak percaya saja," kataku sambil menggembungkan pipiku.

Aku dan Gilang sangat dekat. Aku menyukainya untuk waktu yang lama. Namun, aku tidak pernah melihat tanda-tanda Gilang ingin menjadikan aku pacarnya. Hanya sebagai teman.

"Alasan seperti itu bagaimana saya bisa percaya," kata Gilang, "ada masalah di rumah ?  Kamu pasti pergi karena ada masalah di rumah, kah?" Gilang sangat mengenalku.

"Hmm....," jawab ku pelan, "Aku melakukan kesalahan karena adikku, tapi adikku yang selalu dibela. Aku muak dimarahi oleh orang tuaku untuk hal-hal yang bukan sepenuhnya salahku. Bagaimana dengan kamu, kamu kabur karena apa yang kamu lakukan sudah tidak baik lagi?". Begitu juga dengan aku yang sudah mengenal Gilang.

"Hmmm...., aku dipukul oleh orang tua lagi. Hehe, aku sudah terbiasa" kata Gilang sambil tersenyum kecil. "Salma, masalahmu tidak seberapa dibandingkan denganku, kembali lah ke rumahmu sekarang, apapun masalah kamu, aku yakin itu bukan masalah besar. Orang tua kamu pasti khawatir sekarang, percayalah kepadaku".

Aku memperhatikan Gilang. Aku baru sadar ada memar di wajah Gilang. Air mata mengalir dari sudut mataku. Gilang memang seperti itu, setiap hari orang tuanya dilecehkan entah kenapa. 

Jadi saya percaya apayang dia katakan sebelumnya, karena dia memiliki masalah yang lebih serius dibandingkan saya. Aku memeluk Gilang dan mengucapkan terima kasih dan lalu bergegas pulang. Sesampainya di rumah aku disambut dengan pelukan hangat oleh kedua orang tuaku, mereka sangat khawatir, seperti Gilang.

Singkat cerita, dua tahun kemudian, saya duduk di kursi panjang ini lagi dan tanggalnya sama. Gilang menghangatkanku dengan kata-katanya. 28 Desember, setiap tanggal 28 Desember aku selalu di sini menunggu tepukan di pundak dari seseorang yang aku cintai. Berharap Gilang kembali dan memberikan beberapa nasihat yang sangat berharga. 

Namun, saya menyadari bahwa itu tidak akan mungkin. Gilang meninggal dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan, tepat setelah aku pulang. 

Selama dua tahun terakhir, saya selalu duduk di sini di musin dingin. Memikirkan Gilang dengan kata-kata yang menghangatkan jiwa. Terima kasih Gilang. I Love You.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun