Pembelajaran di kelas menjadi sebuah langkah untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Melalui langkah pembelajaran, siswa diajarkan untuk memiliki pola pikir yang sistematis dan terstruktur yang harapannya dapat diimplementasikan dalam mengatasi permasalahan - permasalahan yang dihadapi dikehidupan sehari - hari. Namun bagaimana jika pembelajaran malah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa saat belajar di kelas ?. Adanya pembelajaran yang dianggap menakutkan menjadi label tersendiri bagi pembelajaran - pembelajaran yang bersifat eksak terjadi di beberapa mata pelajaran, termasuk salah satunya yaitu pembelajaran matematika.
Stigma pembelajaran matematika sebagai teror bagi siswa sudah hadir sejak lama. Hal ini dikarenakan adanya kekhasan matematika sebagai pelajaran yang penuh dengan numerasi dan keangkaan dan juga adanya sugesti "sulit" yang sudah melekat di pikiran siswa untuk belajar mengenai matematika.
Pada pembelajaran matematika sebagai ilmu yang bersifat eksak pada dasarnya memiliki lima tujuan utama yang biasa disebut dengan mathematical power atau daya matematika yaitu sebagai media berkomunikasi, media untuk belajar tentang kemampuan bernalar, media untuk belajar memecahkan masalah, sebagai media untuk mengaitkan ide dan gagasan, serta sebagai media untuk mendorong pembentukan sikap positif terhadap matematika (Shelly, 2004).
Adanya keberterimaan yang kurang maksimal pada diri siswa disekolah berkaitan dengan implementasi pembelajaran matematika dapat dilihat dari berbagai aspek yang ada. Diantaranya yaitu materi yang diajarkan, dan bagaimana materi tersebut diajarkan (Mailani,2015). Materi pembelajaran matematika yang dimaksudkan berkaitan dengan bagaimana materi disusun.Â
Jika materi yang disampaikan sudah disusun sedemikian rupa sehingga tersusun materi dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Sedangkan jika dikaitkan dengan bagaimana penyapaian materi berkaitan dengan kompetensi guru dalam menyampaikan kalimat matematika dengan melalui metode praktis dan tidak bertele- tele sehingga siswa akan  lebih mudah paham dan tidak merasa pusing belajar mengenai matematika. Namun jika materi disampaikan tanpa ada penguasaan baik dalam hal materi ataupun metode pengajaran, maka stigma sulit akan semakin menghantui siswa dalam belajar matematika.
Apa yang Menjadi Faktor Penyebab Matematika Dianggap Sulit Oleh Siswa ?Â
Matematika sebagai ilmu dasar diperlukan adanya pemahaman yang baik bagi siswa dalam mempelajarinya sehingga memunculkan ide, kreatifitas, dan pola pikir yang sistematis dan terstruktur dalam menghadapi permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari - hari. Â Ada dua hal utama yang menyebabkan adanya stigma berpikir sulit bagi siswa dalam mempelajari matematika bagi siswa, diantaranya yaitu tentang apa yang diajarkan, dan bagaimana matematika diajarkan.
1.  Bakat dan Minat SiswaÂ
Setiap individu memiliki kebiasaan dan kelebihannya masing - masing. Sehingga menyebabkan adanya bakat dan minat yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Sama halnya dengan pembelajaran. Di Indonesia setiap anak diminta untuk memiliki kemampuan yang beragam dalam hal pembelajaran. Sehingga terkadang anak dianggap tidak pintar saat mempelajari suatu hal karena hal tersebut tidak sesuai dengan bakat dan minatnya. Sama halnya dengan matematika.
Tidak semua anak menyukai pembelajaran yang bersifat numerik. Sehingga beberapa anak dimungkinkan untuk tidak bisa menikmati bagaimana pembelajaran matematika disampaikan. Sehingga akan berpengaruh terhadap capaian pembelajaran yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat pada nilai - nilai baik ulangan atau nilai - nilai harian pada mata pelajaran matematika yang dilaluinya.
Anak - anak yang tidak menyukai pembelajaran matematika dimungkinkan menyukai mata pelajaran lain yang dirasa sesuai dengan bakat, minat dan ketertarikannya. Seperti misalnya olahraga, kesenian, bahasa, ilmu sosial dan lain sebagainya. Namun tidak jarang di lingkungan pendidikan Indonesia, bahwa guru masih melabeli anak - anak yang tidak cakap dalam pembelajaran matematika sebagai anak yang bodoh atau tidak pintar. Adanya stigma bodoh bagi anak yang tidak menguasai matematika, pengajaran yang bertele - tele oleh pengajar, dan juga sarana dan prasarana yang tidak mendukung akan semakin memperkeruh sugesti sulit dalam pikiran siswa dalam belajar mengenai matematika.
2. Kompetensi GuruÂ
Kompetensi guru menjadi hal yang memiliki urgensi tinggi dalam tersampaikannya matematika sebagai ilmu yang sudah selayaknya dipahami oleh siswa. Dengan adanya kompetensi dan penguasaan yang baik oleh guru baik dalam penguasaan materi ataupun teknik, dan metode pengajaran akan mempermudah siswa dalam memahami apa itu matematika dan seperangkat tetek bengek materi yang disampaikan didalamnya.
Realitanya tidak semua guru memiliki kemampuan yang baik dalam penguasan materi ataupun teknik atau metode pengajaran berkaitan dengan ilmu yang disampaikan walaupun merupakan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan guru yang tentunya sudah dibekali ilmu pengajaran. Namun dimungkinkan bahwasanya para guru tidak kesemuanya telah menempuh pendidikan profesi keguruan atau PPG sehingga penguasaannya masih belum maksimal.
Sehingga harapannya para lulusan dengan latarbelakang keguruan yang nantinya akan turun menjadi seorang guru hendaknya membekali diri dengan ilmu - ilmu pengajaran sehingga akan terbentuk adanya penguasaan yang baik dalam dirinya dilihat dari aspek penguasaan materi ataupun metode atau skill pengajarannya.
Berbicara menyoal kompetensi guru juga berbicara soal kreatifitas guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran bagi siswa. Dengan adanya kegiatan pembelajaran yang disampaikan dengan trik, metode pengajaran yang inovatif dan kreatif akan menarik perhatian siswa dan tentunya akan mendorong munculnya semangat siswa untuk belajar matematika.
3. Sarana dan PrasaranaÂ
Sarana dan prasarana selain menjadi pendukung dalam terselenggaranya pembelajaran matematika juga mendorong timbulnya rasa nyaman pada diri individu dalam belajar matematika. Sarana dan prasarana yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa akan membuat siswa merasa malas belajar mengenai matematika.
Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan media ajar yang sesuai dengan kebutuhan matematika dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Banyak sekali media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika termasuk diantaranya yaitu lab matematika, media ajar baik berupa video pembelajaran, media games dengan menggunakan dasar implementasi ilmu matematika ataupun yang lainnya sesuai dengan inovasi dan kreativitas guru serta kebutuhan siswa dalam menerima materi matematika.
 Sebetulnya banyak sekali faktor lain selain ketiga faktor utama tersebut, salah satunya yaitu berkaitan dengan adanya mitos, stigma, dan pandangan masyarakat umum mengenai matematika. Mitos pertama, bahwa matematika sebagai ilmu sulit sehingga akan dianggap bahwa matematika hanya dikuasi oleh orang - orang dengan tingkat kecerdasan yang tinggi dan akan dianggap biasa bagi orang - orang yang tidak menguasai matematika. Dan bahkan anggapan bahwa seseorang yang tidak menguasai matematika dianggap sebagai seseorang yang biasa saja sudah menjadi hal yang diwajarkan di Indonesia dan orang - orang yang menguasai matematika akan didewakan karena dianggap sebagai individu dengan kecerdasan yang tiinggi.Â
Kedua, matematika dianggap sebagai ilmu yang menggunakan banyak hafalan berkiatan dengan numerasi, pola, dan bahkan rumus yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan matematika. Dengan adanya anggapan banyaknya rumus pola dan angka yang harus dihafalkan akan membuat seseorang merasa bosan atau bahkan muak dengan hal - hal tersebut.Â
Padahal hal ini berkebalikan dengan faktanya, bahwasanya pembelajaran matematika merupakan bentuk dari pemahaman konsep dan bukan semata tentang hapalan rumus dan pola. Ketiga, matematika berhubungan dengan tingkat kecepatan dalam menghitung. Namun realitanya, kecepatan menghitung seseorang bukanlah bentuk nyata pamahaman seseorang terhadap nilai matematis yang sedang dipelajari. Melainkan kemampuan analisis, penyelesaian masalah matematika yang dapat diselesaikan dengan metode hitung dan juga tingkat ketelitian yang dimiliki.Â
Keempat, matematika dianggap sebagai ilmu abstrak yang tidak memiliki keterhubungan secara langsung dengan kehidupan sehari - hari dan bahkan tidak sedikit orang yang menganalogikan materi - materi matematika dengan kegiatan berbelanja di warung saat membeli sayuran atau tempe dengan nominal sekian rupiah dan seterusnya. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan realitasnya, karena dengan berdasar ilmu matematika seseorang dapat lebih cermat dalam melakukan kegiatan sehari - hari dan dapat mengurangi resiko kesalahan - kesalahan yang ada.Â
Seperti misalnya resiko penipuan saat berbelanja dengan uang kembalian yang kurang ataupun sebaliknya karena ketidaktepatan dalam menghitung dan kurangnya kemampuan menghitung saat berbelanja ataupun berjualan dan kegiatan sehari - hari lainnya. Dan yang kelima yaitu adanya anggapan bahwasanya matematika adalah ilmu yang bersifat membosankan, dan kaku.
Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya pembelajaran matematika sangat bergantung pada adanya sinergi antara siswa sebagai objek pembelajaran, guru sebagai subjek pembelajaran, dan sarana prasarana atau fasilitas yang merupakan elemen pendukung pembelajaran. Dengan adanya sinergi yang baik tentu akan diperoleh pembelajaran matematika yang berjalan maksimal dan juga stigma sulit bagi siswa yang belajar mengenai matematika tidak akan hadir dikehidupan mereka. Dan tentu berlaku sebaliknya, apabila pembelajaran matematika di kelas tidak disertai adanya sinergi yang baik antara siswa, guru, dan kelengkapan sarana dan prasarana akan membuahkan pembelajaran matematika yang dianggap sulit dan tidak dapat membuahkan hasil yang baik sesuai dengan tujuan matematika itu sendiri.
Lantas Apa Solusi Pembelajaran Matematika yang Dianggap Menakutkan  bagi Siswa ?Â
Adapun solusi dari permasalahan pembelajaran matematika yang dianggap menakutkan bagi siswa, diantaranya yaitu :
1. Meningkatkan Kompetensi GuruÂ
Guru yang memiliki fungsi sebagai pen-transfer ilmu merupakan titik urgensi tersampaikannya nilai dari suatu materi kepada siswa. Sehingga keberterimaan siswa atas materi dan ilmu dapat diartikan sangat bergantung pada bagaimana guru mengajarkannya. Saat ini tidak jarang ditemui guru yang masih kurang dalam penguasaan kemampuan ajar baik dari segi materi ataupun metode atau cara mengajarnya. Untuk itu, guru dapat membekali diri dengan kemampuan mengajar baik dari segi materi dan juga penguasaan kemampuan mengajar.
Guru yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan ilmu pedagogis sesuai dengan rumpun ilmu yang dipelajari tentunya akan mampu mendorong dan memotivasi siswa dalam mempelajari ilmu yang diajarkan. Termasuk didalamnya ilmu matematika yang dianggap sulit sekalipun sebagai sebuah ilmu penting bagi kehidupan sehari - hari.
2. Penggunaan Media Ajar yang VariatifÂ
Media ajar menjadi hal yang cukup krusial dalam penyampaian mata pelajaran dalam bentuk apapun termasuk diantaranya yaitu pembelajaran matematika. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif dan inovatif sesuai dengan kebutuhan siswa sesuai juga dengan mata pelajaran yang diampu. Dengan menggunakan media ajar yang variatif dan inovatif, diharapkan siswa dapat tertarik dengan apa yang disampaikan.
Penggunaan media yang variatif ini tidak muluk - muluk berkaitan dengan penggunaan teknologi digital yang serba canggih melainkan penggunaan media sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan juga analisis lapangan serta situasi dan kondisi yang ada di sekolah. Hal ini karena bukan berarti pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang menggunakan media ajar yang mahal ataupun media ajar yang sarat dengan kemajuan teknologi, melainkan sesuai dengan kebutuhan dan situasi di lapangan. Karena apabila penggunaan media ataupun teknologi bantu ternyata lebih menyulitkan karena misalnya sulitnya dalam pengoperasian, penggunaan waktu yang tidak sedikit dalam mempersiapkannya ataupun alasan - alasan lainnya, maka sebaiknya menggunakan media konvensional misalnya menggunakan papan tulis ataupun kertas untuk di kreasikan sebagai media ajar dengan sarat penggunaan media tersebut dapat mendorong adanya partisipasi aktif oleh siswa sehingga suasana di kelas dalam mempelajari mata pelajaran matematika dapat lebih hidup dan menyenangkan.Â
Dengan adanya hal demikian, tingkat fokus siswa terhadap materi matematika dalam pengajaran guru pada proses belajar mengajar di kelas akan meningkat dan tentunya akan mendorong pemahaman siswa atas materi yang disampaikan oleh guru pada mata pelajaran matematika.
3. Â Pembelajaran KonteksualÂ
Salah satu nilai minus dari pembelajaran matematika adalah adanya anggapan bahwasanya matematika tidak bersifat konteksual. Sehingga untuk mendorong semangat belajar siswa dalam mempelajari matematika dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran konteksual melalui penggunaan fenomena sosial yang bersifat matematis untuk dijadikan bahan kajian matematika yang kemudian dihubungkan dengan nilai ke-matematikaan sehingga siswa akan dengan mudah memahami apa yang dimaksudkan karena mereka dekat dengan contoh - contoh yang dijadikan bahan pembelajaran dan mengetahui hal tersebut dalam kehidupan di sekitarnya.
Tidak hanya mendorong pemahaman siswa soal matematikanya saja, pembelajaran kontekstual akan mendorong siswa untuk memahami alam dan sekitarnya dengan korelasi antara fenomena di sekitarnya dengan nilai matematika yang diajarkan dalam rangkaian proses pembelajaran matematika di kelas.
PenutupÂ
Matematika hadir dengan anggapan yang tidak hanya baik karena matematika merupakan salah satu rumpun ilmu yang didewakan di seluruh dunia, melainkan juga dianggap sebagai rumpun ilmu yang menjadi momok tersendiri bagi siswa di Indonesia dan bahkan dunia. Hal ini karena adanya faktor dari siswa yang berkaitan dengan bakat dan minatnya, kompetensi guru yang masih belum maksimal, dan juga tingkat kelengkapan sarana dan prasarana yang masih rendah di Indonesia.Â
Selain itu adanya stigma yang menjadi sugesti bahwasanya pembelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya dapat diterima oleh orang - orang dengan tingkat kecerdasan yang tinggi yaitu adanya anggapan bahwa matematika penuh dengan hafalan rumus, matematika dianggap tidak relevan dengan kehidupan sehari - hari, matematika dianggap abstrak, dan matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat kaku dan membosankan.
Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan pembelajaran matematika yang dianggap sulit bagi siswa yaitu dengan meningkatkan kemampuan pengajaran guru, menyelenggarakan kegiatan pembelajaran matematika yang kreatif dan inovatif serta menyenangkan bagi siswa, dan juga melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika yang konteksual. Dengan menerapkan ketiga hal tersebut, pembelajaran matematika yang dianggap membosankan dan kaku atau bahkan menjadi momok menakutkan bagi siswa dapat dikalahkan dan teratasi. Sehingga pembelajaran matematika sebagai ilmu yang mendorong adanya nilai kritis, kreatif dan juga penekanan pada problem solving bagi siswa dapat berjalan dengan maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H