TAHUN 2020 merupakan tahun terberat bagi seluruh penjuru negara, termasuk Indonesia. Hadirnya pandemi Covid-19 yang hingga kini belum usai memberikan dampak yang sangat kompleks di berbagai bidang. Tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat namun angka kematian juga terus meningkat. Selain itu pandemi juga telah "berhasil" menarik Indonesia jatuh ke dalam jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus mengalami kontraksi dimulai dari kuartal II-2020 sebesar -5,32Â persen (YoY) hingga kuartal I-2021 masih mengalami kontraksi sebesar -0,74 persen (YoY).
Laju pertumbuhan ekonomi dengan angka minus yang cukup tinggi membuat perekonomian negara goyah dan berdampak pada hampir seluruh usaha masyarakat. Sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menekan angka kemiskinan di Indonesia, sebenarnya dalam kurun waktu dua tahun terakhir pemerintah telah berhasil hingga menyentuh satu digit dengan capaian angka 9,22 persen pada September 2019. Namun capaian tersebut seakan tenggelam dengan hadirnya pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan terbaru untuk kondisi Maret 2021. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang.Â
Dibandingkan September 2020, jumlah penduduk miskin menurun 0,01 juta orang. Namun jika dibandingkan dengan Maret 2020 diawal pandemi terjadi, jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1,12 juta orang. Persentase penduduk miskin pada Maret 2021 tercatat sebesar 10,14 persen, menurun 0,05 persen poin terhadap September 2020 dan meningkat 0,36 persen poin terhadap Maret 2020.
Dilihat dari sebaran wilayahnya, persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 20,66 persen. Sementara persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan yaitu sebesar 6,09 persen.Â
Dari sisi jumlah, tercatat sebagian besar penduduk miskin berada di Pulau Jawa sebanyak 14,75 juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan sebanyak 1,01 juta orang.
Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan (basic needs approach).Â
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar baik makanan maupun non-makanan yang diukur melalui garis kemiskinan. Apabila penduduk memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan maka dikategorikan ke dalam penduduk miskin.
Besaran garis kemiskinan di Indonesia Maret 2021 adalah Rp472.525per kapita per bulan. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 3,93 persen jika dibandingkan dengan garis kemiskinan tahun lalu pada periode sama yang besarnya Rp454.652 per kapita per bulan.Â
Apabila dilihat dari daerahnya, garis kemiskinan di daerah perkotaan tercatat sebesar Rp489.848 Â per kapita per bulan, sedangkan garis kemiskinan di daerah perdesaan sebesar Rp450.185 per kapita per bulan. Lebih tingginya garis kemiskinan di perkotaan mencerminkan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan.
Pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir membuat aktivitas perekonomian tidak dapat berjalan dengan normal. Banyak pelaku usaha melakukan berbagai cara agar dapat bertahan di tengah pandemi ini, seperti memangkas jam kerja pekerja, merumahkan sementara, bahkan tak sedikit yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya.
Kondisi ini sejalan dengan hasil data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,32 persen dari 4,94 persen pada Februari 2020 menjadi 6,26 persen pada Februari 2021.Â
Dampak pandemi Covid-19 menyebabkan  setidaknya 1,82 juta orang penduduk usia kerja terpaksa menganggur. Meningkatnya fenomena PHK di tengah pandemi ini tentunya berdampak pada pendapatan sebagian besar masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan.
Sebagai upaya dalam mengurangi dampak pandemi Covid-19 sekaligus menghambat laju angka kemiskinan, pemerintah telah menggelontorkan sejumlah dana dalam jumlah besar yang disalurkan melalui program-program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Prakerja, program sembako, bansos, hingga diskon tarif listrik bagi kalangan masyarakat dan pelaku usaha tertentu. Namun, upaya tersebut sepertinya belum cukup mampu untuk menyelamatkan perekonomian dan kesejahteraan bagi sebagian penduduk di tengah situasi pandemi ini.
Selain memberikan bantuan melalui berbagai program perlindungan sosial, sebaiknya pemerintah juga dapat memberikan bantuan dalam bentuk modal usaha. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kembali usaha-usaha kecil yang terdampak pandemi Covid-19.Â
Tentunya efek domino diharapkan akan berlanjut apabila usaha-usaha yang terdampak sedikit demi sedikit bangkit dan kembali mempekerjakan karyawannya sehingga pendapatan penduduk meningkat dan daya beli masyarakat juga ikut meningkat.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga kestabilan harga komoditas yang berpengaruh terhadap penghitungan garis kemiskinan.Â
Sebab apabila inflasi tinggi maka daya beli masyarakat akan turun. Intervensi dari pemerintah ini sangatlah penting terutama bagi penduduk yang berada di sekitar garis kemiskinan agar tidak jatuh ke kategori penduduk miskin untuk ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H