Beberapa waktu lalu, seorang kawan baik bertanya pada penulis, mengapa penulis tidak bergabung dengan salah satu partai besar, untuk menyalurkan aspirasi politik penulis? Apalagi punya sahabat seorang Ketua partai di daerah, tinggal direkomendasikan saja penulis bisa bergabung dengan partainya yang di jakarta. Sambil tersenyum penulis menggeleng. Penulis menjawab bahwa penulis hanya ingin seperti sekarang, menyampaikan aspirasi melalui tulisan.
Menurut penulis, politisi itu pengkhianat. Ketika mereka butuh suara rakyat untuk memenangkan mereka, mereka berupaya untuk menarik simpati rakyat. Begitu menang, hanya kepentingan mereka yang mereka pikirkan, rakyat tetap saja miskin. Memang tidak semuanya begitu, ada juga politisi yang masih punya nurani,benar-benar peduli pada rakyat dan bersih.
Kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games Palembang yang diduga melibatkan sejumlah politisi dari partai besar yang berkuasa, buat rakyat tidak lagi mengagetkan. Sudah terbiasa melihat yang beginian dan sudah tahu juga akhir kisahnya, tidak jelas. Itu biasa di negeri ini, semua menjadi tidak jelas, berputar-putar dan akhirnya kasus ini akan tenggelam oleh isu yang lainnya. Tinggal menunggu kapan isu baru akan digulirkan untuk menenggelamkan kasus ini. Rakyat sudah biasa melihat suguhan politisi yang seperti ini, sudah hafal karena polanya selalu sama.
Sejujurnya, melihat kondisi negeri yang semakin hari semakin tidak jelas ini, sepertinya berharap adanya perbaikan dari negeri ini, ibarat mimpi di siang bolong. Selama SBY masih seperti itu, negara ini akan berjalan seperti kapal besar yang membawa penumpang tanpa kemudi. Nakhodanya hanya melihat kemudi itu, namun tidak pernah sekalipun menyentuhnya apalagi menggerakkannya sehingga kapal besar ini hanya berjalan pada mengikuti gelombang, tidak tahu mau kemana. Salah seorang anggota ASEAN mencibir pencalonan Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Mereka bilang, mengurusi negaranya saja tidak mampu, malah mau mengurus ASEAN? Negara lain saja bisa menilainya seperti itu? Sungguh terlalu.
Pagi ini, penulis membaca satu komentar dari tulisan "Geger Demokrat" yang menyatakan bahwa jadi takut tinggal di Indonesia. Penulis merenung. Ya negeri ini memang sudah tidak menjamin hak warga negara lagi, seperti kebebasan beribadah menurut agama dan keyakinannya. Bahkan perampokan yang terjadi selalu menggunakan senjata api, terorisme,dll. Apalagi politisi saling sikut dan mengorbankan teman seiring. Memang semakin tidak aman saja negeri ini.
Tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh abadi. Peristiwa yang terjadi di Demokrat adalah contoh nyata bahwa menjadi politisi itu harus siap dengan segala resikonya. Karena itu jangan mau jadi politisi, kalau tidak siap dengan segala resikonya. Mau jadi politisi ingat saja M. Nazaruddin, mantan bendahara umum Demokrat. Siapkah menjadi seperti dirinya bila nanti terjadi kasus serupa? Kalau berani, silakan maju dan jadilah politisi yang baik. (Eva)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H