The Death of Chatterton by Henry Wallis
Waktu menunjukkan pukul dua ketika aku masih terjaga. Melamun menatap siaran TV konyol, kunyalakan agar tidak terlalu sunyi, sembari memilin-milih ujung kemeja putih bercorak darah yang aku kenakan. Baunya masih di sana. Masih bisa kuingat meski enam tahun telah berlalu. Kebesaran, tentu saja. Panjangnya sampai bagian atas pahaku, dan aku tidak ingin repot-repot memakai celana. Membiarkan kaki jenjangku terbuka.
Dua botol bir kosong tergeletak berantakan bersama dengan kemasan makanan ringan di atas meja tak jauh dari diriku berada. Beserta dengan asbak yang berkolaborasi bersama puntung-puntung rokok bertebaran bersandiwara seakan dirinya adalah segumpal salju kotor yang setia menempeli tempat pembuangan limbah menjijikan.Â
Keadaan apartemenku kacau. Terlihat seperti aku baru saja mengubahnya menjadi sebuah kapal pecah atau mungkin sebuah tong sampah, aku tidak tahu. Kulirik pecahan beling yang masih tersisa di dekat karpet berbulu di bawah televisi. Beberapa tissue berdarah akibat menampung kesakitan yang aku ciptakan untuk meredam kegilaan tiga puluh menit yang lalu tergeletak bersebelahan dengannya.
Kali ini, aku mengakui bahwa pernyaaan Reo dulu memang benar. Bahwa tidak ada yang bisa menolongmu selain dirimu sendiri. Aku tertawa dahulu ketika kamu mencoba mengingatkanku untuk menjadi seorang Gia yang mandiri, dengan memberikan beberapa nasihat, karena kamu selamanya tidak akan selalu berada di dekatku, begitu katamu.Â
Kemudian, kalau sudah begitu, aku akan bertanya, "Kamu menyelamatkan semua orang, tetapi siapa yang akan menyelamatkanmu?"
Kamu akan terkekeh. Bersama dengan senyuman paling indah serta suara paling menyejukkan yang pernah aku dengar, Reo mengeluarkan kalimatnya seperti dia baru saja melantunkan syair hebat.
"Tidak ada yang bisa menyelamatkanku selain diriku sendiri, Gia. Manusia memang membutuhkan manusia yang lain. Tetapi, ada saatnya ketika di sana hanya ada aku dan diriku. Maka dengan begitu, biarkan lah diri ini yang akan menolong pria muda Reo yang merintih meminta pertolongan. Karena sejatinya, kamu tahu, hanya diriku lah yang tahu dimana letak kesakitan itu berada."
Aku mendengus. Mengingat bagaimana wajah seriusmu ketika membicarakan hal tersebut, aku tidak bisa tidak menangis, Reo. Kamu berkata kamu akan menyelamatkan dirimu sendiri. Tetapi apa yang terjadi kepadamu dalam peristiwa tragis enam tahun silam membuat jiwaku teriris perih, aku menangisimu setiap malam.
Bagaimana bisa kamu ikut meninggalkanku seperti ini? Bagaimana aku harus bertahan hidup, Reo? Bertahan hanyalah sia-sia jika dunia ini tanpamu. Bagaimana aku harus menghadapi tahun demi tahun yang akan datang menyergap?