Yang lebih memprihatinkan, sentimen negatif ini tidak hanya datang dari masyarakat awam. Tokoh publik dan pejabat negara pun ikut terbawa arus. Contohnya, pernyataan anggota DPR Ahmad Sahroni yang secara terang-terangan menyebut "hakim brengsek" telah memperparah situasi. Ucapan semacam ini, yang diucapkan oleh wakil rakyat, bukan hanya merendahkan martabat hakim tetapi juga berpotensi mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
PMKH di era digital memiliki karakteristik yang berbeda dengan PMKH konvensional. Pertama, jangkauannya yang luas. Sebuah komentar atau postingan yang merendahkan martabat hakim bisa menyebar dengan cepat dan mencapai audiens yang jauh lebih besar dibandingkan dengan PMKH yang dilakukan secara langsung. Kedua, sifatnya yang permanen. Sekali sesuatu diunggah di internet, sangat sulit untuk menghapusnya sepenuhnya. Ketiga, anonimitas yang ditawarkan oleh internet sering kali membuat orang merasa lebih berani untuk melontarkan komentar-komentar yang merendahkan.
Dampak PMKH di era digital terhadap integritas peradilan juga sangat signifikan. Tekanan psikologis yang dialami oleh hakim yang menjadi target kritik massal di media sosial bisa mempengaruhi objektivitas mereka dalam memutus perkara di masa depan. Selain itu, penyebaran informasi yang belum terverifikasi atau sengaja diputarbalikkan dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
Pertanyaannya, di tengah badai kecaman ini, mau ditaruh dimana muka hukum dan pengadilan? Martabat hakim dan institusi peradilan seolah-olah telah diinjak-injak di arena publik. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum berada di titik nadir. Banyak yang secara terang-terangan menyatakan ketidakpercayaan mereka pada hukum dan penegaknya.
Namun, kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan rakyat. Keinginan akan transparansi dalam proses peradilan adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan dalam masyarakat demokratis. Masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan putusan pengadilan, terutama jika putusan tersebut tampak bertentangan dengan bukti-bukti yang beredar luas di publik.
Dilema ini menempatkan sistem peradilan kita di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, hakim dan pengadilan harus tetap menjaga independensi mereka, membuat keputusan berdasarkan fakta dan hukum, bukan tekanan publik. Di sisi lain, mereka juga harus merespons kebutuhan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas.
Jalan ke depan mungkin terletak pada komunikasi yang lebih baik antara sistem peradilan dan publik. Pengadilan perlu menemukan cara untuk menjelaskan proses dan keputusan mereka dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, tanpa mengorbankan integritas proses hukum. Sementara itu, masyarakat juga perlu diedukasi tentang kompleksitas sistem hukum dan pentingnya menghormati proses peradilan, bahkan ketika mereka tidak setuju dengan hasilnya.
Badai digital yang dipicu oleh vonis bebas Ronald Tanur ini mungkin akan berlalu, tetapi dampaknya terhadap persepsi publik tentang sistem peradilan akan bertahan lama. Ini adalah momen kritis bagi kita semua untuk merefleksikan bagaimana kita, sebagai masyarakat digital, dapat berperan dalam menjaga integritas sistem hukum sambil tetap mempertahankan hak kita untuk mengkritisi dan mempertanyakan.
Tanpa keseimbangan ini, kita berisiko menciptakan lingkaran setan di mana ketidakpercayaan publik dan erosi martabat pengadilan saling memperkuat satu sama lain, pada akhirnya melemahkan fondasi negara hukum yang kita perjuangkan bersama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H