Kala itu hujan baru saja meninggalkan si bungsu di gubuk kecil dekat sungai. Ia duduk layaknya memerhatikan dedaunan yang hanyut. Tak ada yang tahu bukan ia tengah melakukan apa. Bisa jadi ia memang mengamati sesuatu yang hanyut dalam air, atau bisa jadi ia tengah termenung.
"Hey," sapa seseorang mengejutkannya.Â
Ternyata itu adalah temannya. Ia datang dengan kucing digendongannya. Lucu sekali kucing itu, dengan gaya malasnya ia berada di pundak sang majikan tertidur nyenyak.Â
"Untuk apa kau disini?" tanya temannya itu.
"Menunggu hujan pergi," sahut si bungsu seraya menatap sekilas pada temannya yang duduk memangku kucing malas itu.
"Lalu? Bukankah hujan sudah pergi? Lantas mengapa tetap disini?" tanyanya lagi.
Si bungsu tak langsung menjawab, ia menghadap temannya itu dan mengambil alih kucing malas yang sedang tertidur.
"Huh berat sekali rasanya," ucap si bungsu selepas meletakan kucing itu pada pangkuannya.
"Ya, dia semakin bertambah saja berat badannya. Tidak kah kau lihat ia semakin gembul. Lihatlah, pipinya menenggelamkan hidungnya" ujar temannya itu yang terkekeh pelan.
"Bukan," sahut si bungsu.
"Lalu?"
"Ini," jawabnya yang menepuk pundaknya pelan. Terlihat sendu dalam raut wajahnya. Bibirnya pucat, matanya sayu, pandangannya fokus pada 1 titik namun ia tak ada di sana.
Temannya itupun langsung terdiam. Ia tahu bagaimana si bungsu berjuang untuk bertahan dan memperbaiki kehidupannya selama ini.Â
"Tak apa bung. Kelak kau akan tahu mengapa Tuhan memilih dirimu untuk menjalani semua ini," ucap temannya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H