Sedikit cerita tentang hari ini. Baru saja aku membaca tweet yang isinya adalah tentang sebuah ungkapan kepada ayah. Momen yang pas. Aku juga tengah merindu dengan rumah dan seisinya.Â
Aku turut menaruh kalimat ungkapan di kolom komentar. Jujur saja, aku jarang sekali berbicara dengan keluarga di tanah rantau ini. Bukan kendala teknis atau hal terkait lainnya, hanya saja aku takut lepas kendali.Â
Saat di rumah, aku jarang berinteraksi dengan Bapak. Bahkan, bisa dihitung jari aku berbicara dengan Bapak selama seminggu.Â
Melihat komentar-komentar di postingan itu aku menangis. Terbayang saat-saat aku bersama kedua orangtuaku. Isinya bukan sekedar ungkapan terima kasih atau permintaan maaf, tapi ada juga yang marah dan mengumpat atas apa yang dilakukan ayahnya.Â
Membaca ungkapan marah itu, aku jadi lebih yakin bahwa cerita-cerita yang ada di alur ftv atau sinetron memang benar ada. Hanya saja terdistorsi ekspresi. alur ceritanya memang benar ada yang mengalami.Â
Turut merasakan kesedihannya. Ia yang tadinya sangat ditunggu-tunggu untuk hadir lalu diabaikan. Ia yang ditinggalkan karena lebih memilih keluarga barunya, selingkuh dll. Ia yang diperlakukan kasar. Ia yang melihat ibunya disakiti, dan ia yang mengungkapkan sejuta rasa untuk ayahnya.Â
Perlu diketahui bahwa, luka yang sangat melukai anak adalah melihat orang tuanya terluka. Terlebih jika yang melukai adalah keluarga sendiri, anak, istri, suami, sepupu, dll.
Aku juga ada ribuan bahkan jutaan kata maaf dan terima kasih untuk bapak. Rasaku terhadapmu dijamin seratus persen tak akan pudar. Aku rindu, sangat rindu dengan keluarga di sana, kucingku juga.Â
Aku yakin, para penulis komentar di postingan itu kurang lebih sama denganku, agak gengsi untuk mengungkapkan rasa secara live. Di hari raya Idul Fitri bahkan aku hanya mengatakan, "maaf pak". Itu saja rasanya sudah menganak sungai mata ini.Â
Aku tahu bagaimana bapak. Diamnya bapak adalah rasa kefrustasiannya, itulah cara ia bertahan di atas ketidakberdayaannya sebagai makhluk Tuhan. Meskipun kadang menyebalkan, tapi aku cukup paham untuk itu.Â
Bapak hebat. Ia sangat bekerja keras untuk istri dan anaknya. Semenjak aku beranjak usia 18 tahun, ada rasa kasihan terhadapnya mempunyai anak yang kurang bersyukur sepertiku. Maaf ya pak.
Sangat lekat di ingatanku, bagaimana ia bekerja serabutan, bekerja keras yang benar-benar melakukan pekerjaan kasar.Â
Merintis, jadi kuli pengangkut kayu yang jaman dulu masih diangkut menggunakan kerbau, belum ada mobil. Pulangnya tak tentu, kadang sebulan sekali atau seminggu sekali. Di usianya yang sudah 60-an tahun pun, ia masih jadi pekerja kasar.Â
Mengingat belasan tahun lalu, kala itu senja, aku berdua dengan mamaku di rumah bangunan dari pemerintah, menyambut bapak yang pulang sedari bekerja. Aku lihat senyumnya, bahagia.Â
Saat itu ia membawa pulang tv tabung beserta antenanya. Dan aku lupa, kapan terakhir bapak tersenyum sebahagia itu. Aku lupa. Atau memang tidak ada.
Doaku tak pernah putus untuk bapak dan mamak di rumah. Berbahagialah, dan ku mohon tunggu sebentar lagi, aku yakin akan sukses dan  menyejahterakan keluarga di sana. Aku akan belikan makanan apapun yang bapak sama mamak mau, aku akan usahakan apapun untuk bapak dan mamak.Â
Terimakasih banyak pak untuk kerja kerasnya. Aku banyak belajar dari kehidupan kita, bagaimana susahnya kita, bagaimana cara kita bersyukur atas itu, dan bagaimana kita bahagia untuk itu.Â
Terus bahagia kalian berdua di rumah sana, tunggu anakmu pulang dengan kekuatan penuh. Jaga juga kucingku ya pak. Kalau mau main jangan lupa disuruh pulang. Buat mamak, jangan diomeli ya kucingku, kasian dia ga ngerti apa-apa.
Salam kangen,
Iyik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H